PLAGIARISME ITU KORUPSI!
Oleh Fahrus Zaman Fadhly, M.Pd
Wasekjen Ikatan Alumni Universitas Pendidikan
Indonesia (IKA UPI) & dosen Universitas Kuningan (UNIKU)
Awal maret 2012 tampaknya menjadi hari kelabu bagi
dunia pendidikan kita. Pagi, 1 maret 2012, kampus bumi siliwangi diguncang
penghuninya sendiri. Di halaman satu, pikiran rakyat menulis : “tiga calon guru
besar UPI plagiator” (kamis, 1/3). Sehari setelahnya, Sekjen Transparency
International Indonesia yang juga alumni UPI, Teten Masduki mengatakan, “.....
tidak boleh ada kriminalitas di perguruan tinggi karena ini mencorang dunia
pendidikan. Harus dicopot (pelakunya). Apalagi ini dilakukan oleh calon guru
besar,” (Pikiran Rakyat, 2/3).
Tak pelak, berita memalukan dunia akademik itu
langsung menyebar ke berbagai situs jejaring sosial. Sebagian besar dari mereka
mengecam tindakan plagiat yang dipandang menghancurkan kredibilitas akademik
perguruan tinggi. Terlebih ratusan ribu alumni kampus pencetak guru itu ikut
tercorang. Salah satu dari mereka menyatakan bahwa untuk mengembalikan citra
dan wibawa akademik UPI, tidak ada cara lain, selain memberhentikan dari
tempanya mengajar. Sanksi yang ringan berupa sanksi administratif seperti
penurunan pangkat dan jabatan akademik/fungsional, hanya akan menyuburkan
praktik plagiarisme di dunia pendidikan.
Kasus plagiat, tentu tidak saja terjadi di kampus
pencetak guru itu, tetapi pernah juga terjadi di perguruan tingi negeri lain
seperti ITB, UI, UNPAR, Universitas Negeri Riau, dan Universitas Gorontalo. Sanksi
bagi pelaku, umumnya diberhentikan dengan tidak hormat dari almamaternya,
dibatalkan jabatan guru besar (bila dilakukan seorang profesor) dan gelar
akademik lainnya, serta dicopot dari jabatan-jabatan struktural lain yang
disandangnya. Belakangan, dugaan plagiat atau pelanggaran norma akademik juga
itu terjadi di 21 PTN dan sejumlah PTS di bawah tujuh wilayah koordinator
perguruan tinggi swasta (kopertis). Direktorat jendral perguruan tinggi pun
sudah mengirimkan surat kepada PTN dan PTS tersebut yang masuk dalam daftar
kasus.
Plagiator = Koruptor
Praktik plagiarisme sejatinya merupakan tindakan
korupsi di dunia akademik yang secara fundamental mampu menghancurkan
sendi-sendi kejujuran, obyektifitas, keadilan, otentisitas dan kebenaran
sebagai pilar utama suatu lembaga ilmiah dan pusat riset. Di dunia kampus,
tindakan tidak terpuji itu terkategori extraordinary
crime, sebagaimana korupsi dalam dunia politik. Karena itu, pelaku
plagiarisme atau sang plagiator harus mendapat sanksi yang berat sehingga
membuat efek jera. Bila sanksinya ringan seperti penurunan pangkat dan/ atau
jabatan akademik (fungsional), maka justru akan menyuburkan praktik
plagiarisme.
Antara plagiarisme dan korupsi terdapat kesamaan
fundamental : yakni keduanya sama-sama tindakan mengambil milik orang lain
secara illegal (mencuri). Namun, perbedaannya adalah dua aspek. Pertama,
material yang diambil/dicuri. Kedua, artikulasi atau sikap pelakunya setelah
mencuri barang/karya orang lain. Dalam korupsi, material yang dicuri umumnya
berupa uang dan hasil korupsinya disembunyikan atau diupayakan sekeras mungkin
agar tidak diketahui oleh orang lain atau pihak berwenang. Bahkan, bagi
sebagian besar koruptor, mereka melakukannya dengan cara money laundry. Sementara dalam plagiarisme, material yang dicuri
itu berupa karya ilmiah/fiksi orang lain. Namun, plagiarisme labih berbahaya
daripada korupsi. Karena, detelah melakukan tindakan plagiat, pelakunya secra
demonstratif menyatakan bahwa itu adalah hasil karyanya sendiri baik yang
dimuat dalam jurnal ilmiah atau dalam bentuk buku.
Kasus yang menimpa tiga calon guru besar yang
belakangan ramai dibicarakan, tentu didoraong oleh budaya shortcut, instan dan malas berfikir. Kreatifitas yang sejatinya
akan melahirkan otentisitas justru dipenjara oleh nafsu untuk segera menyandang
gelar kehormatan sebagai maha guru: guru besar. Terlebih didorong oleh
angan-angan untuk mendapat “kesejahteraan” secara illegal, mudah dan cepat.
Apalagi tunjangan seorang guru besar mencapai kurang lebih 13 juta/bulan
menjadi godaan tersendiri bagi seorang dosen untuk segera meraihnya.
Dosen yang sejatinya mesti memberikan keteladanan
tentang nilai-nilai kejujuran justru melakukan tindakan tidak terpuji dengan
mencuri karya orang lain. Dosen seperti demikian tidak boleh mengajar karena
tidak ada yang bisa diteladani dari seorang plagiator. Karena itu, plagiator
memang mestinya diganjar dengan hukuman yang maksimal seperti diberhentikan
secra tidak hormat, dicabut gelar akademiknya dan dicopot jabatan
strukturalnya. Bila sanksi ini dilakukan, maka mahasiswa dan dosen lainnya akan
memandang hina perbuatan plagiat dan menghindari untuk melakukannya.
Sanksi dan kredibilitas akademik
Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak
sengaja dalam memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan
mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihal lain yang
diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan
memadai (permendiknas No. 17 tahun 2010, pasal 1 ayat 1). Pada ayat 4
permendiknas ini, juga menyerukan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia
agar melakukan tindakan represif dengan menjatuhkan sanksi kepada plagiator.
Tindakan represif itu harus dilakukan untuk mengembalikan kredibilitas akademik
suatu perguruan tinggi.
Untuk mengembalikan kredibilitas akademik sebuah
perguruan tinggi, sanksi atas tindakan plagiat bisa bermacam-macam dari yang
paling ringan hingga yang paling berat bergantung pada tingkat kesalahan
plagiatnya. Pasal 12 ayat 3 permendiknas No. 17/2010 menyebutkan bahwa sanksi
bagi doesn, peneliti dan tenaga kependidikan yang terbukti melakukan plagiat
bisa berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak kepada
mereka, penurunan pangkat dan jabatan akademik,/fungsional, pencabutan hak
untuk diusulkan sebagai guru besar/professor/ahli peneliti utama, pemberhentian
dengan hormat atau tidak hormat dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga
kependidika, atau pembatalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang
bersangkutan. Namun, apabila pelaku plagiat itu adalah seorang guru besar/
professor/ahli peneliti utama, maka mereka dijatuhi sanksi tambahan berupa
pemberhentian oleh menteri atau pejabat yang berwenang.
Praktik plagiarisme dapat dicegah dengan berbagai
cara. Diantaranya, pertama, mengunduhkan hasil karya ilmiah ke internet. Bagi
pembimbing, promotor atau peer group yang
mempromosikan seseorang menjadi sarjana/magister/doktor atau profesor mesti
memiliki perangkat yang memudahkan mereka melakukan cek silang di internet.
Mereka sejak dini harus turut bertanggung jawab kepada mahasiswa bimbingannya
agar mereka tidak terjerumus pada perbuatan plagiat.
Kedua, sanksi yang maksimal juga sangat membantu
melahirkan efek jera kepada plagiator, sehingga seseorang tidak mudah –baik
secra sengaja atau sengaja- mencuri hasil karya orang lain. Imbauan dirjen dikti
beberapa watu lalu agar mahasiswa S1, S2 dan S3 harus menulis ringkasan
skripsi, tesis dan disertasi dalam jurnal ilmiah yang peer reviewed juga membantu seorang mahasiswa/dosen agar terbiasa
menulis karya ilmiah. Walaupun imbauan ini pada sisi lain juga mendorong
lahirnya buadaya plagiarisme ala baru
dan fenomena “jurnal bodong”. Ini terjadi sebagai akibat dari tuntutan
kewajiban dan terbatasnya media publikasi ilmiah jika dibandingkan dengan
jumlah mahasiswa yang ada.
Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus lebih gencar
melancarkan kampanye anti nyontek dan plagiat di kalangan mahasiswa dan dosen.
Budaya malu menyontek dan plagiat di lingkunagn civitas akademika penting
dilakukan agar lahir sikap asketisme intelektual (intellectual ascetism) di kalangan insan kampus. Budaya malu itu
akan lahir bila sanksi bagi para pelaku plagiat sangat berat. Dalam konteks
kasus plagiat di UPI misalnya, senat akademik mestinya menyidang mereka secra
terbuka, apa kesalahannya, karya ilmiah milik siapa yang dijiplak dan
diterbitkan oleh jurnal ilmiah mana. Sidang senat akademik pun mestinya bisa
disaksikan oleh segenap civitas akademika dan bila terbukti menjatuhkan sanksi
yang berat kepada plagiator. Lewat ikhtiar ini, budaya malu untuk berbuat
plagiat, insyaAllah, akan tumbuh
dengan sendirinya di kalangan mereka.
Keempat, bagi mahasiswa baru yang memasuki masa
orientasi, sedini mungkin harus disampaikan kepada mereka tentang bahaya
perbuatan pelaku plagiat dan sanksi beratnya. Melalui berbagai langkah itu,
saya kira, praktik plagiat akan menurun secara signifikan. Namun, bila pimpinan
perguruan tingginya juga banyak melakukan kesalahan, sehingga sang plagiator
berusaha menyandera untuk tidak memberikan sanksi berat, makas disinilah
pangkal soalnya: kerusakan di dunia peruguruan tinggi justru terjadi karena
pimpinannya juga banyak melakukan tindakan-tindakan koruptif dan manipulatif. Wallahu’alam.
Source:
Comments
Post a Comment