Skip to main content

FILSAFAT ILMU : DASAR-DASAR ILMU

FILSAFAT ILMU : DASAR-DASAR ILMU

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudhan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongannya penulis tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Slawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar para pembaca dapat memperluas ilmu mengenai dasar-dasar ilmu dalam filsafat yang meliputi pengertian, perbedaan, metode-metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan berdasarkan ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Walaupun dalam prakteknya, penyusunan makalah ini tak luput dari kekurangan dan memerlukan perbaikan dalam berbagai aspek tetapi makalah ini juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu, Bapak Fahruz Zaman Fadli, M.Pd. yang telah membimbing penulis selama penyusunan makalah ini. Selain itu penulis pun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini ynag tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada para pembaca. Dengan mengetahui adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran serta perbaikan dari pembaca yang membangun. Terimakasih.
Kuningan, 10 Mei 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui “filsafat adalah induk semua ilmu” seperti yang dikatakan oleh filosof terdahulu. Pada awalnya, memang cakupan objek filsafat lebih luas diabndingkan ilmu. Ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filasafat mencakup objek empiris maupun non-empiris. Namun pada perkembangannya, filsafat berkembang menjadi bagian dari ilmu itu sendiri yang terspesialisasi, seperti filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu. Alasannya, filsafati tidak bisa terus berada di awang-awang, tetapi ia juga harus membimbing ilmu.
Dengan perkembangannya yang sangat pesat, ilmu semakin jauh dari induknya. Bahkan telah mengakibatkan munculnya arogansi dan kompartementalisasi antara satu bidang ilmu dengan bidang yang lainnya. Di sinilah filsafat berperan, yaitu menyatukan visi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu. Dalam konteks ini, ilmu sebagai kajian filsafat sangat krusial untuk dibahas.
Makalah ini dibuat untuk memudahkan para pembaca untuk mengetahui lebih dalam mengenai dasar-dasar ilmu yang terdapat dalam ilmu filasafat yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah sebagi berikut:
1. Dasar-dasar ilmu apa sajakah yang ada dalam filsafat ilmu?
2. Apakah pengertian dari Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi?
3. Seperti apakah perbedaan antara Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi?
4. Metode-metode apa sajakah yang dapat dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan Ontologi, Epistemologi maupun Aksiologi?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis merumuskan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar-dasar ilmu yang ada dalam filsafat ilmu.
2. Untuk mengetahui pengertian dari Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
4. Untuk mengetahui metode-metode yang dapat dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan Ontologi, Epistemologi maupun Aksiologi
2
BAB II
DASAR-DASAR ILMU
A. ONTOLOGI
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua di antara segenap filsafat Yunani yang kita kenal adalah Thales. Atas perenungannya terhadap air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal muladari segala sesuatu.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani ( kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang munkin ada. Hakikat adalah realitas ; realita adalah ke – real – an, Riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Ahmad Tafsir mencontohkan tentang hakikat makna demokrasi dan fatamorgana. Pada hakikatnya pemerintahan demokratis menghargai pendapat rakyat. Mungkin ornag pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang – wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki, yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Tentang hakikat fatamorgana dicontohkan, kita melihat suatu objek fatamorgana. Apakah real atau tidak? Tidak . fatamorgana itu bukan hakikat, hakikat fatamorgana itu ialah tidak ada.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa“ yang merupakan Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Untuk lebih jelasnya penulis mengemukakan pengertian dan aliran pemikiran dalam ontologi ini.
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani : On = being, dan Logos = logic. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Louis O. Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan, Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.
Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
3
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat; dan Logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori – kayegori yang logis yang berlainan ( objek – objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip – prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir – akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebutilmu hakikat, hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan.
Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori / ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata – mata.
Dari beberapa pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu, On / Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
2. Menurut istilah, ontologi ialah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani / konkret maupun rohani / abstrak.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Cristian Wolff ( 1679 – 1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
4
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan pandangan – pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing – masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
Aliran ini dianggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu – satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
Kalau dikatakan bahwa materialisme sering disebut naturalisme, sebenarnya ada sedikit perbedaan di antara dua paham itu. Namun begitu, materialisme dapat dianggap suatu penampakan diri dari naturalisme. Naturalisme berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. Yang dimaksud alam di sini ialah segala – segalanya, meliputi benda dan ruh. Jadi benda dan ruh sama nilainya dianggap sebagai alam yang satu. Sebaliknya, materialisme menganggap ruh adalah kejadian dari benda. Jadi tidak sama nilai benda dan ruh seperti dalam naturalisme.
Dari segi dimensinya, paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurut teori ini semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur – unsur ini bersifat tetap, tak dapat dirusakkan. Bagian – bagian yang terkecil dari unsur itulah yang dinamakan atom – atom. Atom dari unsur sama rupanya sama pula, dan sebaliknya. Namun perbedaan hanya mengenai berat dan besarnya. Mereka bisa bersatu menjadi molekul yang terkecil dari atom – atom itu. Selanjutnya atom – atom dengan kesatuannya molekul – molekul itu bergerak terus menuruti undang – undang tertentu. Jadi materialisme menganggap bahwa kenyataan ini merupakan suatu mekanis seperti suatu mesin yang besar.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales ( 624 – 546 SM ). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander ( 585 – 528 SM ) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara
5
dengan alasan bahwa udara adalah merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos ( 460 – 370 SM ) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom – atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom – atom inilah yang merupakan asal kejadian alam.
Dalam perkembangannya, sebagai aliran yang paling tua, paham ini timbul dan tenggelam seiring roda kehidupan manusia yang selalu diwarnai dengan filsafat dan agama. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah :
a. Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
b. Penemuan – penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihatsebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
c. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.
2. Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme yang dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh.
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh ( sukma ) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan rohani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah :
a. Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh ini dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan saja.
b. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar darinya.
c. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Materi bagi penganut idealisme sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah sebagai ruh. Ruh itu tidak hanya mengusai manusia perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita – cita dan cita – cita itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat disebut idealisme dan dapat disebut spiritualisme.
6
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran Plato ( 428 – 348 SM ) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap – tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah yang berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu. Dalam menjelaskan hakikat ide tersebut Plato mengarang mitos penunggu gua yang dimuatnya di dalam dialog politea yang dikutipkan sebagai berikiut ini :
Manusia dapat dibandingkan dengan orang – orang tahanan yang sejak lahirnya terkurung dan terbelenggu di dalam gua. Di belakan mereka ada apimenyala sementara mereka hanya dapat menghadap ke dinding gua. Beberapa orang budak belian berjalan – jalan di depan api itu sambil memikul bermacam – macam benda. Hal itu mengakibatkan bermacam – macam bayangan yang jatuh pada dinding gua. Karena orang – orang tahanan itu tidak dapat melihat ke belakang, mereka hanya menyaksikan bayangan , dan bayangan itu disangka mereka sebagai realitas yang sebenarnya dan tidak ada lagi realitas. Namun, setelah beberapa waktu seorang tahanan dilepaskan. Ia melihat di belakang mereka, yaitu di mulut gua, ada api yang menyala. Ia mulai memperkirakan, bahwa bayangan – bayangan yang disaksikan mereka bukanlah realitas yang sebenarnya. Lalu ia diantar keluar gua, dan ia melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula – mula ia berpikir, bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Namun berangsur – angsur ia pun menginsapi bahwa justru itulah realitas yang sebenarnya, dan ia menyadari bahwa dulu ia belum pernah menyadarinya. Lalu ia kembali ke dalam gua, ya, ke tempat kawan – kawannya yang masih diikat di situ. Ia bercerita kepada teman – temannya bahwa yang dilihat mereka pada dinding gua itu bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanyalah bayangan. Namun, kawan – kawannya tidak mempercayai perkataannya, dan seandainya mereka tidak terbelenggu, pasti ia akan membunuh siapa saja yang mencoba melepaskan mereka dari belenggunya. Kalimat terakhir ini mengiyasakan kematian Socrates.
Penjelasan mitos ini adalah bahwa gua adalah dunia yang dapat ditangkap oleh indera. Kebanyakan orang dapat diumpamakan orang tahanan yang terbelenggu, mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Namun ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas inderawi adalah bayangan, mereka adalah filosof. Mula – mula mereka merasa heran sekali, tetapi berangsur – angsur mereka menemukan ide “ yang ’’ ( matahari ) sebagai realitas tertinggi, untuk mencapai kebenaran yang sebenarnya itu manusia harus mampu melepaskan diri dari pengaruh indera yang menyesatkan itu.
Aristoteles ( 384 – 322 SM ) memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda – benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.
Pada filsafat modern, pandangan ini mula – mula kelihatan pada George Barkeley ( 1685 – 1753 M ) yang menyatakan objek – objek fisis adalah ide – ide. Kemudian
7
Imannuel Kant ( 1724 – 1804 M ), Fitce ( 1762 – 1814 M), Hegel ( 1770 – 1831 M ), dan Schelling ( 1775 – 1854 M ).
3. Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu ( monisme ) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualisme.
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani,benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama – sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing – masing bebas dan berdiri sendiri, sama – sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah descartes ( 1596 – 1650 M ) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menanamkan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran ( ruhani ) dan dunia ruang ( kebendaan ). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la methode ( 1637 ) dan Meditations de Prima P hilosophia ( 1641 ). Dalam bukunya ini pula ia menuangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes ( metode keraguan Descrates / Cartesian Doubt). Di samping Descartes, ada juga Benedictus De Spinoza ( 1632 – 1677 M ), dan Gitified Wilhelm Von Leibniz ( 1646 – 1716 ).
Decrates meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula – mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Dia meragukan badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan ruh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada empat keadaan seseorang dapat mengalami sesuatu seolah – olah dalam keadaaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah – olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh – sungguh terjadi persisi seperti tidak mimpi ( jaga ), begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Akibatnya ia menyatakan bahwa ada satu yang tidak dapat diragukan, yaitu saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai saya sedang ragu benar – benar tidak dapat diragukan adanya.
Aku yang sedang ragu ini disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu aku berpikir pasti ada dan benar. Jika berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir ada itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir jadi aku ada. Paham ini kemudian terkenal dengan rasionalisme, yaitu paham filsafat yang mengatakan bahwa akal ( reason ) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
8
Umumnya manusia tidak akan mengalami kesulitan untuk menerima prinsip dualisme ini, karena setiap kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh pancaindera kita, sedang kenyataan batin dapat segera diakui adanya oleh akal dan perasaan hidup.
4. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James ( 1842 – 1910 M ). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang anggap kita benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran – kebenaran , yaitu apa yang benar dalam pengalaman – pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman yang berikutnya. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi – universum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
5. Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam Novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias ( 483 – 360 SM ) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Bukankah Zeno juga pernah sampai pada kesimpulan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada parodoks. Kita harus menyatakan bahwa realitas itu tunggal dan banyak, terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak dicipta. Karena kontrakdisi tidak dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa – apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh peninderaan
9
itu tidak dapat dipercaya, peninderaan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. Kita berpikir sesuai dengan kemauan, ide kita, yang kita terapkan pada fenomena. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Prusia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia dibelakang atau diatas dunia dimana ia hidup. Nietzsche mengakui bahwa pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nila-nilai itu akan lenyap. Dengan sendirinya itu masih modern tterancam nihilisme. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.
6. Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. A artinya not, Gno artinya know.
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855 M) yang dikenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak dapat hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan kedalam suatu yang lain.
Sementara itu, Martin Hiedegger (1889-1976 M), seorang filosof Jerman mengatakan, satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Jadi dunia ini adalah bagi manusia, tidak ada persoalan bagi alam metafisika.
Pada pemahaman lainnya, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Perancis yang ateis sangat terpengaruh dengan pikiran ateisnya mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan etre (ada) melainkan e etre (akan atau sedang). Segala perbuatan manusia tanpa tujuan karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal). Segala sesuatu mengalami kegagalan. Das sein (ada/berada) dalam cakrawala gagal. Ternyata segala macam nilai hanya sebatas saja. Manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan kegagalan dan keruntuhan. Sebab hal
10
itu bukanlah hal yang asli. Kegagalan dan keruntuhan itu mewujudkan tulisan sandi (chiffre) sempurna dari “ada”. Didalam kegagalan dan keruntuhan itu orang mengalami “ada”, mengalami yang transeden.
Karl Jaspers (1883-1969 M) menyangkal adanya suatu kenyataan yang transenden. Yang mungkin itu hanyalah manusia berusaha mengatasi dirinya sendiri dengan membawakan dirinya yang belum sadar kepada kesadaran yang sejati, namun suatu yang mutlak (transcendent) itu tidak ada sama sekali.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahuai hakikat benda baik materi maupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skeptisismeyang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnostisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.
B. EPISTEMOLOGI
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengadaian-pengadaian, dan dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama didalam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian paada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatisn, terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa diantara mereka menyarankan bahwa pengetahuan mmengenai struktur kenyataan dapat lebih memunculkan dari sumber-sumber tertentu ketimbang sumber-sumber lainnya. Herakleitus, misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Permanides menenkankan penggunaan akal. Meskipun demikian, tak seorangpun diantara mereka yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).
Baru pada abad ke-5 SM, muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu, mereka meragukan akan kemampuan manusia mengetahui realitas adalah kaum sophis. Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benarmerupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia? Apakan kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya? Sikap spektis inilah yang mengawali munculnya epistemologi.
Metode empiris yang telah dibuka oleh Aristoteles mendapat sambutan yang besar pada zaman Renaisans dengan tokoh utamanya Francis Bacon (1561-1626). Dua diantara karya-karyanya yang menonjol adalah The Advancement of Learning (1606) dan Novum Organum (organum baru).
11
Filsafat Bacon mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah menurut Russel, dasar filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon mengritik filsafat yunani yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai praktis bagi kehidupan manusia. Ia mengatakan, “the great mistake of greek philosophers was that they spent so much time in theory, so little in observation”.
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang apat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik, “knowledge is power. It is not opinion to be held, but a work to be done, I am laboring to lay the fondation not of any sector of doctrine, but of utility and power”.
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas filsafat paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia didekatkan satu sama lain, menurutnya, alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam, manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk mengetahui alam diperlukan observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.
Umat manusia ingin menguasai alam tetapi menurut Bacon, keinginan itu tidak tercapai sampai pada zamannya hidup, hal itu karena ilmu-ilmu pengetahuan tak berdaya guna dalam mencapai hasilnya, sementara itu logika tidak dapat digunakan untuk mendirikan dan membangun ilmu pengetahuan. Bahkan, Bacon menganggap logika lebih cocok untuk melestarikan kesalahan dan kesesatan yang ada ketimbang mengajar dan menentukan kebenaran.
Sementara bagi Descartes (1596-2650 M), persoalan dasar dalam filsafat pengetahuan bukan bagaimana kita tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan? Salah satu car auntuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah dengan melihat seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Bila kita secara sistematis mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, akhirnya kita akan mencapai titik yang tidak bisa diragukan sehinggga pengetahuan kita dapat dibangun diatas kepastian absolut.
Prosedur yang disarankan Descartes untuk mencapai kepastianialah keraguan metodis universal, keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya usaha meragukan itu akan berhenti bila adda sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan ini disebut metodik karena keraguan yang ditetapkan disini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran. Bagi dia, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan melihat sesuatu, melaikan didalam mengira tahu apa yang tidak diketahuinya atau mengira tidak tahu yang diketahuinya.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunya metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah:
12
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandang yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengematan dan penelitian orang pada pernyataan-pernyataan universal.
David Hume (1711-1716), telah membangkitkan pernyataan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
Dalam iinduksi, setelag diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu pengajara kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori inikita akan tahu bhawa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh diatas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.
2. Metode Deduksi
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulakan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan0kesimpulan itu sendiri. Ada penyeleidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakan teori tersebut mepunyai sifat empiris atau olmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapakan secata empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahw kita dapat membuktikan kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal. Tidak pernah ia menggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar, contoh: jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan turun.
3. Metode positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte ( 1798-1857). Metode iini berpangkal dari apa yang telah diketahui , yang factual , yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian / persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif , adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang-bidang gejala saja.
13
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap : teologis,metafisis,dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.
Pada tahap metafisik,kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang umum yang disebut allam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
Pada tahap ini , usaha mencapai pengenalan mutlak baik pengetahuan teologis atau metafisis dipandang tak berguna,menurutnya,tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta pengamatan dan akal.
4. metode kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk mendapat pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan akan berbeda harusnya dikembangkan seuatu kemampuan akal yang disebut intuisi. Pengetahuan yang didapat lewat intuisi bias diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan Al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang dating dari tuhan melalui pencerahan. Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi disinarkan oleh allah secara langsung merupakan pengetahuan yang pealing benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi hanya bersifat individual & tidak bias dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bias dikomersilkan.
5. metode dialektis
Dalam filsafat,dialektika mula-mula metode Tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun plato mengartikan disukusi logika, kini dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan , juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tapi pemikiran itu seperti dalam percakapan.
Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya lebih luas dari itu, ,menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika. Dan dialektika berarti mengomromikan hal yang berlawanan seperti:
- Dictator disini manusia diatur dengan baik tapi tidak punya kebebasan (tesis)
14
- Keadaan diatas menampilkan lawannya yaitu Negara anarki (anti tesis) dan warga Negara mempunyai kebebasan tanpa batas tapi hidup dalam kekacauan.
- Tesis dan anti tesis disintesis yaitu Negara demokrasi. Kebebasan warga Negara dibatasi oleh undang-undang dan hidup masyarakat tidak kacau.
Perkembangan ilmu pada masa modern dan computer secara epistemologis
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistimologis perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan.
Pandangan itu meruoakan kritik terhadap pandangan Aristoteles,yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari unntung , artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi.
Pada abad-abad berikutnya, di dunia Barat mau tak mau di dunia luar Barat, dijumpai keyakinan dan kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia khususnya ilmu-ilmu alam, akan membawa pekembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmur. Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan selama masa modern sangat mempengaruhi dan mengubah manusia dan dunianya. Terjadilah Revolusi Industri I (mulai sekitar ttahun 1800 dengan pemakaian mesin-mesin mekanis), lalu Revolusi Industri II (mulai sekitar tahun 1900 dengan pemakaian listrik dan titik awal pemakaian sinar-sinar), dan kemudian Revolusi III yang ditandai dengan penggunaan kekuatan alam dan penggunaan computer yang kita saksikan saat ini .
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk kebudayaan manusia. Dan tampak semacam kecenderungan yang terjalin pada setiap ilmu pengetahuan dan ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya.
Kecenderungan lain adalah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan baik dunia teknik mikro atau makro. Dengan begitu tampak bahwa semakin maju pengetahuan semakin meningkatnya keinginan manusia,sampai memaksa,merajalela bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya jadi tidak manusiawi lagi bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan dari kedua ini yang lebih mengerikan dari yang pertama namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan pertama.
Kedua kecenderungan ini nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan & kehidupan manusia ini dalam bidang lomba persenjataan kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui lagi , kemajuan dalam bidang kedokteran yang sudah mengubah batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin.
Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung atau tidak dengan struktur social dengan politik yang pada gilirannya berhubungan dengan
15
jutaan manusia yang kelaparan,kemiskinan dan berbagai macam kesimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok ditengah ditengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membatu kehidupan manusia.
Kedua kecenderungan diatas ternyata condong menjadi lingkaran setan yang perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sedah muncul dalam banyak lingkungan ilmuan yang prihatin akan perkembangan teknik, industry , dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita.
Gregory Bateson misalnya , melihat secara mendasar permasalahan yang ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Menurutnya,sebab-sebab utama yang menimbulkan krisis-krisis diatas adalah kesalahan epistemology yang mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam hubungan ini ia menegaskan : “ jelas kini bagi banyak orang, bahwa telah muncul berbagai bencana sebagai akibat kesalahan epistemology barat. Ini semua berkisar dari insektisida sampai korupsi,jarahan radioaktif dan kemungkinan mencairnya es antartika. Diatas itu semua, desakan kuat kita menyelamatkan kehiduoan individual telah mendatangkan kemungkinan bahaya kelaparan dunia diimasa mendatang. Agaknya, kita cukup beruntung andai saja melampaui 20 tahun yang akan datang tanpa bencana yang lebih dahsyat ketimbang kehancuran besar yang dihadapi manusia adalah hasil yang ditimbulkan akibat kekeliruan dalam kebiasaan pemikiran kita pada tingkat yang paling dalam tanpa sepenuhnya kita sadari”.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan bernilai praktis bagi manusia , diantaranya dalam bentuk teknologi. Akibatnya , menaklukan alam dan mengeksploitasinya habis-habisan tidaklah dapat dianggap sebagai kesalahan. Kedua metode yang digunakan adalah deduksi/induksi sebagai pengaruh dari pemikiran positivisme.
Metode ini amat dominan dalam epistemology modern , khususnya dalam metode keilmuwan , ketiga objek yang dikaji adalah realitas empiris , inderawi , dan dapat dipikirkan dengan rasio. Dalam kaitan ini, herman khan menyebutkan budaya yang dihasilkan dari epistemology diatas adalah budaya inderawi yaitu budaya yang bersifat empiris, duniawi secular , humanistic,utiliter , dan hedonistic.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan dalam ilmu pengetahuan modern adalah bahwa ilmu pengetahuan bertujuan menundukan alam , alam dipandang sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan dinikmati semaksima mungkin. Dalam hubungan ini Nasr mengemukakan bahwa akibat yang akan terjadi dari pandangan demikian , alam diperlakukan oleh manusia modern seperti pelacur , mengambil manfaat dan kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apapun.
Lebih lanjut , Nasr mengeritik ilmu pengetahuan modern barat, bahwa ilmu modern mereduksi seluruh esensi dalam pengertian metafisik , kepada material dan substansi. Dengan demikian , pandangan dunia metafisis nyaris sirna dalam ilmu pengetahuan modern. Kalaupun ada , metafisik mereduksi menjadi filsafat rasional yang selanjutnya sekedar pelengkap ilmu pengetahuan alam dan matematika. Bahkan kosmologi diturunkan
16
derajatnya dengan memandang hanya semacam superstisi. Dengan pandangan itu ilmu pengetahuan modern menyingkirkan pengetahuan kosmologi dari rencananya. Padahal menurut Nasr , kosmologi adalah ilmu sacral, yang menjelaskan kaitan materi dengan wahyu dan doktrin metafisis.
Dalam bidang filsafat, Descartes mewariskan suatu metode berpikir yang menjadi landasan berpikir dalam ilmu pengetahuan modern. Langkah – langkah tersebut adalah :
1. Tidak menerima hal apapun dalam hal yang benar, kecuali dalam diyakini sendiri bahwa itu memang benar.
2. Memilih – milih masalah menjadi bagian – bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian.
3. Berpikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk mencapai ke hal yang paling rumit.
Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer ditandai dengan berbagai teknologi canggih. Teknologi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat. Mulai dari penemuan komputer, satelit komunikasi, internet, dll. Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang begitu tinggi, karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi – spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuan kontemporer mengetahui hal yang sedikit tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran pun semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis. Demikian bidang – bidang ilmu lain di samping kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi dan psikolinguistik.
C. AKSIOLOGI
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dsb. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal – hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali baru – baru ini dan menciptakan senjata kuman yang di pakai sebagai alat untuk untuk membunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakan secara
17
proporsional dan memihak pada nilai – nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar – benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuannya. Seorang ilmuan akan dihadapkan pada kepentingan – kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuan haruslah “ dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, penulis akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya:
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “ teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam 3 bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan . bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio – political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.
4. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan V.alue and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebai nilai instrik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai – nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa –apa yang memiliki nilai atau nilai bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa – apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk nilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
18
Dari definisi – definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada pemasalahan etika dan estetika.
Makna “etika“ dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan – perbuatan manusia. Seperti ungkapan “ saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal – hal, perbuatan – perbuatan, atau manusia – manusia yang lain. Seperti ungkapan “ ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Etika nilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma – norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma – norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat bergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan pada filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar – benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur – prosedur. Demikian juga dengan nilai. Orang yang berselera rendah tidak mengurang keindahan sebuah karya seni.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen – eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai – nilai subjektif, seperti nilai
19
– nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dsb. Bagi seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran adalah yang sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatam manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang ada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuan harus berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai – nilai moral.
Keterkaitan ilmu dengan nilai – nilai moral ( agama ) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengmukakan teorinya “ bumi yang berputar mengelilingi matahari “ sementara ajaran agama menilai sebaliknya, maka timbullah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasrkan kepada pernyataan – pernyataan yang terdapat dalam ajaran – ajaran di luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahawa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini,para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasrkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ ilmu yang bebas nilai “, setelah pertarungan itulah ilmuan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangakan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret sebagai teknologi. Teknologi tidak diraguakan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pernyataan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral? Apabila teknologi ini menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses imu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi kedalam dua golongan pendapat. Golongan pertama perpendapat bahawa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai – nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuan hanyalah menemukan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada era Galileo. Golongan kedua berpendapat bahwa netralis
20
ilmu terhadap nilai – nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada penggunaanyaa haruslah berlandaskan nilai – nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi – teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esotoric hingga kaum ilmuan lebih mengetahui tentang ekses – ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasusu revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralis ilmu terletak pada epistomologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuan akan lebih merupakan seorang momok yang paling menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip – prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip – prinsip moral, yaitu dengan baik dan menghindarkan dari yang burukke dalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah – kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan – perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapakan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “ elemen – elemen “ kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan moral yang bersifat utilitaristik ( kegunaan ). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dsb. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terikat dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari segi etis. Bagi seorang ilmuan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori – teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu,
21
mestilah memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dsb. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah – tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal hal positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadangkala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan – pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik ( kloning manusia ) yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang ilmuan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam penderian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan padatujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh Alquran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur yang semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan hanya “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapka tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung
22
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini.
Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan dan sebgainya. Sednagkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Filsafat ilmu terdapat tiga dasar ilmu yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ontologi yaitu dasar ilmu yang menerangkan tentang segala sesuatu yang ada di muka bumi, baik yang bersifat fisik (materi) maupun yang bersifat metafisik (ruh). Epistemologi mempelajari tentang penggunaan ilmu itu sendiri yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Sedangkan Aksiologi yaitu membahas mengenai bagaimana kegunaan atau fungsi dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Aksiologi lebih memfokuskan diri pada fungsi ilmu pengetahuan sebagai teknologi untuk membantu masalah manusia dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
iii
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Alquran, cet. Ke-1, Bandung : Rosda Karya, 1989.
Bachtiar Amsal, Filsafat Ilmu, cet. Ke-12, Depok : Rajawali Pers, 2013.
M. Budianto, Irmayanti, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan : Refleksi Kritis Atas Cara Kerja Ilmiah, Depok : Universitas Indonesia, 2001.

Comments

  1. Infonya bermanfaat banget bro..... mampir ke CATATAN KULIAH KU ya... Catatan LENGKAP ku. salam kenal.... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kak. Semoga membantu. Salam kenal juga

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The analysis of short story girl by o henry

The analysis of short story girl by o henry 1. the point of view             The point of view that used in this short story is the 3rd person point of view and the dramatic. The third point of view because the writer mention the name of the characters in the short stories like: “......... robbins, fifty, something of an overweight beau, and addicted to first nights.... and Hartley, twenty-nine, serious, thin, good-looking, nervous.......” Beside that, the writer also using a noun and pronoun to tell the story to the reader like : “.... a man with an air of mistery came in the door and went up to Hartley....”             Beside that the dramatic point of view, we can see that from the way the writer tells the story and using the scene of the story like the real situation in life. On the other hand, the writer also tells us abt the problem taht might be always found in our life, like looking for the nany or the cook for their house. Which is not always easy to find the good

ASSESSING SPEAKING

ASSESSING SPEAKING      There are four categories of listening performance assessment tasks. A similar taxonomy emerges for oral production. Imitative      At one end of a continuum of types of speaking performance is the ability to simply parrot back (imitate) a word or phrase or possibly a sentence. While this is a purely phonetic level of oral production, a number of prosodic, lexical, and grammatical properties of language may be included in the criterion performance .      We are interested only in what is traditionally labeled”pronunciation” no inferences are made about the test takers ability to understand or convey meaning or to participate in an interactive conversation. The only role of listening here is in the short-term storage of a prompt,just long enough to allow the speaker to retain the short stretch of language that must be imitated. Intensive      A second type of speaking frequently employed in assessment contexts is the production of short streches of oral language

INTRODUCTION TO LITERATURE

Ketika mempelajari karya sastra –yang disebut dengan introduction to literature dalam bahasa inggris-, kita pasti bertanya-tanya apa sih yang dipelajari dalam mata kuliah ini? Nah, saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini sedikit. Dari asal katanya ,  introduction to literature  memperkenalkan karya sastra bahasa inggris. Sebenarnya konsep dasar dari literature baik dari bahasa indonesia, bahasa inggris maupun bahasa lainnya itu sama.  Yang membedakan antara satu karya sastra dari karya sastra yang lainnya hanyalah bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra tersebut. Literature itu sendiri sering diebut dengan  work of art , dimana tulisan dibuat sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan seni didalamnya. Jenis-jenis karya sastra  dalam bahasa inggris yaitu  prose , roleplay dan poetry .  Prose atau prosa dalam bahasa indonesia terdiri dari novel, novella dan short story. Jenis karya sastra seperti ini biasa kita temukan, bukan?  Bagi anda yang memiliki hobi membac