Skip to main content

GURU DAN PROSES MEGAJAR-BELAJAR

GURU DAN PROSES MEGAJAR-BELAJAR

Pengertian Guru
A.       Arti guru dahulu dan sekarang
Sekurang-kurangnya selama dua dasawarsa terakhir ini hampir setiap saat, media massa khususnya media cetak harian dan mingguan memuat berita tentang guru. Namun, berita-berita ini banyak yang cenderung melecehkan posisi para guru, sedangkan para guru tersendiri nyaris tak mampu membela  diri.
Hugget ( 1985 ) mencatat sejumlah besar politisi Amerika Serikat yang mengutuk para guru kurang profesional, sedangkan orang tua juga telah menuding mereka tidak kompeten dan malas. Kalangan bisnis dan industrialis pun memprotes para guru karena hasil didikan mereka dianggap tidak bermanfaat. Sudah tentu tuduhan dan protes dari berbagai kalangan itu telah memerosotkan harkat para guru.
Bagaimanakah nasib guru di negara kita? Pada zaman dulu, jauh sebelum era globalisasi informasi, profesi  dan posisi guru konon dihormati seperti para priyayi. Dalam berbagai upara dan perayaan, mereka duduk di deretan utama bersama para demang alias wedana.
Secara ekonomis, penghasilan guru waktu itu memadai bahkan lebih. Secara psikologis, harga diri dan wibawa mereka juga tinggi, sehingga para orang tua pun berterima kasih jika anak-anaknya “diberikan pembelajaran“. Singkat cerita, posisi guru dimata berbagai kalangan masyarakat pada masa lalu sangat tinggi dan terhormat.
Namun, kini keadaan para guru telah berubah drastis. Profesi guru adalah profesi yang “kering“, dalam arti kerja keraspara guru membangun Sumber Daya Manusia (SDM) hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan, harkat dan derajat mereka dimata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga negara second class (kelas kedua). Kemerosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh dibawah rata-rata kalangan profesional lainnya.
Sementara itu,wibawa para guru dimata murid-murid pun kian jauh. Murid-murid masa kini, khususnya yang menduduki sekolah-sekolah menengah di kota-kota pada umumnya hanya cenderung menghormati guru karena ada udang di balik batu. Sebagian siswa-siswa di kota menghormati guru mereka karena ingin mendapat nilai yang tinggi atau naik kelas  dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras. Sebagian lainnya lagi menghormati guru agar mendapatkan dispensasi “maaf dan maklum” apabila mereka telat dalam menyerahkan tugas. Sikap dan perilaku masyarakat seperti itu memang tidak sepenuhnya tanpa alasan yang bersumber dari guru.
Ada sebagian guru yang terbukti memang berpenampila tidak mendidik. Ada yang memberi hukuman badan (corporal punishmen) diluar batas norma kependidikan,dan ada juga guru pria yang melakukan tindakan asusila  terhadap murid-murid perempuannya.
Kelemahan lain yang juga disandang sebagian guru kita adalah kerendahan tingkat kompetensi profesionalisme mereka. Penguasaan mereka terhadap materi dan metode pengajaran masih berada dibawah standar (Syah, 1988). Selain itu,ada dua buah hasil penelitian resmi yang juga menunjukan kekurangmampuan guru,khususnya guru sekolah dasar seperti teruangkap di bawah ini.
Hasil penilitian Badan Litbang Depdikbud RI menyimpulkan,bahwa kemampuan membaca para siswa kelas IV SD di Indonesia masih rendah,Simpulan ini ditarik dari data penelitian yang cukup mengejutkan,yakni bahwa 76, 95% siswa kelas  VI SD tidak dapat menggunakan kamus. Di antara yang mampu menggunakan kamus pun ternyata hanya 5% yang dapat mencari kata dalam kamus bahasa indonesia secara sistematis dan benar. Mentri Koordinator Kesra yang menyoroti hasil penelitian tahun1993 menyebutkan, bahwa kegagalan tersebut disebabkan pengajaran para guru hanya mementingkan penguasaan huruf tanpa penguasaan makna. (Balitbang Depdikbud, 1994).
Bukti lain kelemahan sebagian guru kita juga ditunjukan oleh hasil penelitian psikologi yang melibatkan responden sebanyak 1975 siswa  SD negeri dan swasta di jakarta. Penelitian disertasi dokter Fakultas Psikologi UI itu menghasilkan simpulan bahwa guru di sekolah-sekolah dasar tersebut tidak mampu mengidentifikasi siswa berbakat (Anonim, 1993).
Kenyataan-kenyataan negatif diatas,cepat atu lambat akan menjatuhkan prestise (wibawa yang berkenaan dengan prestasi), khusunya prestise profesionalisme para guru. Celakanya, kemerosotan prestise profesional sering diikuti dengan kemerosotan prestise sosial dan prestise material (Mutrofin, 1993). Tanda-tandanya seperti yang penyusun dikemukakan tadi,bahwa para guru kini kurang dihargai masyarakat di samping kehidupan materi mereka yang serba pas-pasan.
Akibatnya, tak mengherankan apabila diantara guru ada yang mengalami kelainan psikis keguruan yang dikenal sebagai teacher burnout berupa stress dan frustasi yang ditandai dengan sering murung dan mudah marah (Barlow, 1985) : (Tardif, 1989). Boleh jadi, karena teacher burnout (pemadaman guru) inilah maka sebagian oknum guru kita yang kurang kuat iman, berbuat di luar batas norma edukatif dan norma asusila yang  terungkap diatas.
B.  Arti guru masa mendatang
Dalam Kamus Bahasa Indonesia edisi kedua 1991, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaanya (mata pencahariannya) mengajar. Tapi, sesedehana inikah arti guru? Kata Guru yang dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan dalam bahasa inggris teacher, itu memang memiliki arti sederhana,yakni A person whose occuption is teaching others (MCLeod, 1989). Artinya, Guru ialah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Pengertian-pengertian itu masih bersifat umum,dan oleh karenanya dapat mengundang bermacam-macam interprestasi dan bahkan juga konotasi. Pertama,kata seseorang (a person) bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti bukan hanya dia (seseorang) yang sehari-harinya mengajar di sekolah yang dapat disebut guru, melainkan juga “dia-dia” lainnya yang  berposisi sebagai : Kiai di Pesantren, Instruktur di balai pendidikan dan pelatihan,dan bahkan juga sebagai pesilat di padepokan. Kedua,kata mengajar dapat pula ditafsirkan bermacam-macam,misalnya:
1)   Menularkan pengetahuan dan Kebudayaan kepada orang lain (bersifa kognitif);
2)   Melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotor);
3)   Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (bersifat afektif).
Terlepas dari aneka ragam interprestasi tadi,guru yang dimaksud dalam pembahasan ini ialah pendidik profesional yang wajib memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan (UU Sisdiknas 2003 Bab XI Pasal 40 ayat 2b). Selanjutnya,kegiatan mengajar yang dilakukan guru itu tidak hanya berorientasi kecskspsn-kecskspsn berdimensi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa dan karsa. Sebab dalam Perspektif psikologi pendidikan,mengajar pada prinsipnya berarti belajar,dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Perilaku ini meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka  seperti keterampilan membaca (ranah karsa),juga yang bersifat tertutup seperti berpikir (ranah cipta) dan perasaan (ranah rasa).
Jadi,seperti yang telah di singgung berkali-kali pada bab sebelum ini,mengajar pada hakikatnya sama dengan mendidik. Oleh karena itu,tidak perlu heran apabila seorang guru yang sehari-harinya sebagai pengajar lazim juga disebut pendidik.
Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Itulah sebabnya setiap perbincangan mengenai pembaruan kurikulum,pengadaan alat-alat belajar sampai pada kriteria sumber daya manusia yang dihasilkan oleh usaha pendidikan. Selalu bermuara pada guru. Hal ini menunjukan betapa signifikan (berarti penting) posisi guru dalam dunia pendidikan.
Selanjutnya,pada masa-masa mendatang ada harapan baru yang cukup menjanjikan bagi guru dan orang yang ingin menjadi guru dengan cukup menjanjikan bagi guru dan orang yang ingin menjadi guru dengan keluarnya UU guru dan dosen No. 14/2005, juga PP RI No. 38/1992 yang memuat 64 pasal tentang Tenaga Kependidikan. Kehadiran PP ini membawa implikasi (hubungan keterlihatan) yang cukupfundamental dan realistis meskipun dalam hal tertentu perlu dipertanyakan.
Guru, menurut Pasal 35 PP 38/1992, diperkenankan bekrja di luar tugasnya untuk memperoleh penghasilan sepanjang tidak mengganggu tugas utamanya. Kebolehan mengerjakan tugas lain memberi kesan berkurangnya derajat keguruan para guru walaupun para guru tugas utama mereka sebagai pengajar, apalagi jika mengingat tidak tegasnya batasan mengganggu tugas utama itu. Pantaskah seorang guru menjadi calo karcis bioskop pada malam hari atau menjadi pedagang asongan di stasiun pada hari2 libur?
Terlepas dari persoalan di atas rupanya pemerintah bermaksud mengambil jalan pintas dalam menyejahterakan kehidupan ekonomi para guru, misalnya dengan memberi tunjangan profesi asalkan memiliki sertifikat profesional. Selain itu, para guru juga boleh melakukan “profesi kedua” paling tidak sampai pemerintah menaikan gaji mereka secara memuaskan.
Hal lain yang perlu juga mendapat sorotan adalah isi Pasal 15 (2) PP tersebut, yang memberi peluang kepada para sarjana fakultas keguruan untuk menjadi guru dengan syarat memiliki akta mengajar. Akta ini dikeluarkan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan program akta pada fakultas tarbiyah untuk menjadi guru agama. Jadi seorang sarjana teknik yang berasal dari instansi manapun dapat diangkat menjadi guru tekhnik seperti sarjana lulusan fakultas keguruan jurusan tekhnik. Konotasinya ialah keharusan memiliki pengalaman pendidikan dan ijazah sarjana keguruan, misalnya dari Fip dan fakultas Tarbiyah dan Keguruan seakan-akan diperlukan lagi untuk diangkat menjadi guru.
Kita memang tak perlu berburuk sangka. Namun, yang perlu diwaspadai adalah kekurangmampuan mengelola PMB, mengingat diperlukan waktu 5 tahun untuk memperoleh S.1 untuk belajar dan berlatih mengelola PMB. Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa output LPTK, seperti yang diakui oleh Mendik RI, belum memuaskan, terbukti dengan tidak sesuainya guru bidang studi dan rendahnya kualitas PMB, jugamasih kurangnya kualitas dosen pengelola LPTK itu sendiri.
Idealnya, seseorang yang memiliki bakat untuk menjadi guru terlebih dahulu menempuh pendidikan formal keguruan selama kurun waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan yang akan menjadi tempat kerjanya. Selain itu, ragam mata kuliah yang dipelajari di fakultas-fakultas keguruan itupun seyogyanya lebih spesifik dan orientasi pada kompetensi dan profesionalisme keguruan yang memadai.
Sehubungan dengan hal itu, ragam mata kuliah yang tidak ada kaitannya dengan bidang-bidang studi keahlian dan teori-teori kependidikan, seyogyanya dikurangi higga batas paling minimal, misalnya dengan hanya menambah mata kuliah yang secara konstitusional diwajibkan, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa (lihat UU Sisdikna 2003 Bab X Pasal 37 Ayat 2).
Di negara-negara maju, pendidikan keguruan lazim disebut Preservice education, dan diselenggarakan baik oleh Universitas maupun oleh “kolij” (college) semacam CAE (College of Advanced Education) kalau di Australia. Kolij ini kira-kira setara dengan sekolah tinggi kalau di Indonesia. Ada dua macam keguruan yang ditawarkan oleh universitas dan CAE, yaitu program Bachelor of Education (B. Ed.) setara dengan S.1 karena satu level di bawah M.Ed., dan program Diploma of teaching atau Diploma of Education yang lebih kurang setara dengan program D3 di Indonesia.
Kegiatan belajar program-program tersebut meliputi pertemuan kelas (tutorial, seminar, diskusi kelompok) dan praktikum lapangan bobot seimbang. Sejak puluhan tahun yang lalu, di Australia bahkan sudah mulai ada institusi preservice education yang menyelenggarakan program pendidikan keguruan yang hampir seluruh kegiatannya dilakukan di sekolah-sekolah tempat praktik. Program ini disebut school-based preservice education (Tardif, 1989).
Di Indonesia upaya pengadaan guru justru seolah-olah tidak harus dihubungkan dengan preservice education yan intensif, meskipun menyediakan fakultas-fakultas keguruan untuk macam-macam studi dan fakultas tarbiyah yang siap memasok guru agama dan bahasa Arab bahkan guru bahasa asing, matematika, dsb. Memang kita tidak harus menjiplak sistem pengadaan guru ala Barat, tetapi mengambil pelajaran dari mereka yang sudah lebih dahulu maju untuk membuat terobosan-terobosan baru, apa salahnya?
Karakteristik Kepribadian Guru
Dalam arti sederhana kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannnya yang membedakan dirinya dengna yang lain. McLeod (1989) mengartikan kepribadian atau personality sebgaai sifat khas yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini kata lain yang sangat artinya dengan kepribadian adalah karakter dan identitas.
Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan aspek prilaku mental (pikiran, perasaan dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspke ini berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap (Reber, 1988). Dari perilaku psiko-fisik (rohani \-jasmani) yang khas dan menetap tersebut muncul julukan-julukan yang bermaksud menggambarkan kepribadian seseorang, seperti : pak Amir juju, si Kaslan pemalas, dan sebagainya.
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Mengapa demikian? Alasannya, disamping ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu, seperti yang telah penyusun kemukakan, guru juga berperan sebagai anutan.
 Mengenai pentingnya kepribadian guru, seorang psikolog terkemuka, profesor Doktor Zakiah Daradjat (1982) menegaskan :
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan ank didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Oleh karena itu, setiap calon guru dan guru profesional angat diharapkan memahami karakteristik (ciri khas) kepribadian dirinya yang diperlukan sebagai panutan para siswanya. Secara konstitusional, guru/pendidik pada setiap jenjang pendidikan formal wajib memiliki satuan kualifikasi (keahlian yang diperlukan) dan sertifikasi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi (pasal 42 ayat 1  dan 2 UU Sisdiknas 2003).
Karkteristik kepribadan yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi: 1) fleksibilitas kognitif; 2) keterbukaan psikologis.
Fleksibilitas Kognitif Guru
Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan yang memadai dalam situasi tertentu. Kebalikannya adalah frigiditas kognitif (kekakuan ranah cipta) yang ditandai dengan kurangnya kemampuan berpikir f=dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbuakan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika mengamati dan menganalisa suatu objek  atau situasi tertentu seorang guru yang fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis (critical thinking) ialah berpikir dengan penuh pertmbangan akal sehat (reasonable reflektive) yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye, 1990).
Dalam PMB, fleksibilitas kognitif guru terdiri atas 3 dimensi, yakni:
1)   Dimensi karakteristik pribadi guru;
2)   Dimensi sikap kognitif guru terhadap siswa; dan
3)   Dimensi sikap kognitif guru terhadap materi pelajaran dan metoda mengajar.

Selanjutnya akan penyusun uraikan mengenai perbedaan karakteristik dan sikap guru yang luwes dengan karakteristik dan sikap guru yang kaku. Untuk mempermudah penelaah anda, penyusun akan menyajikannya dalam bentuk tabel. Tabel-tabel ini bersumber dari Daradjat (1982), Surya (1982), Burns (1991), dan Petty (2004).

Karakteristik kognitif pribadi guru
Ciri Perilaku Kognitif Pribadi Guru
Guru luwes
Guru kaku
1.    Menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan kegiatan belajar-mengajar
1. Tampak terlampau dkuasai oleh rencana pelajaran, sehingga alokasi waktu sangat kaku
2.    Menjadikan materi pelajaran berguna bagi kehidupan nyata siswa
2. Tak mampu memodifikasi materi silabus
3.    Memepertimbangkan beberapa alternatif cara mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa
3. Tak mampu menangani hal yang terjadi secara tiba-tiba ketika pelajaran berlangsung
4.    Mampu merencanakan sesuatu dalam keadaan mendesak
4. Terpaku pada aturan yang berlaku meskipun kurang relevan
5.    Dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan situasi KBM yang menarik
5. Terpaku pada isi materi dan metode yang baku sehingga situasi KMB monoton dan membosankan


Sikap Kognitif Guru terhadap Siswa
Ciri Sikap Kognitif Guru
Guru Luwes
Guru Kaku
1. Menunjukan perilaku demokratis dan tenggang rasa pada semua siswa
1. Terlalu memperhatikan siswa yang pandai dan mengabaikan siswa yang lamban
2. Responsif terhadap kelas (mau melihat, mendengar, dan merespon masalah disiplin, kesulitan belajar dan sebagainya)
2. Tidak mampu atau tidak mau mencatat isyarat adanya masalah dalam KBM
3. Memandang siswa sebagai mitra dalam KBM
3. Memandang siswa sebagai objek yang berstatus rendah
4. Menilai siswa berdasarkan faktor-faktor yang memadai
4. Menilai siswa secara serampangan
5. Berkesinambungan dalam menggunakan ganjaran dan hukuman sesuai dengan penampilan siswa
5. Lebih banyak menghukum dan kurang membrikan ganjaran yang memadai atas prestasi yang dicapai siswa

Sikap Kognitif guru terhadap materi dan metoda
Ciri sikap kognitif guru
Guru luwes
Guru kaku
1. Menyusun dan menyajikan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa
1. Terikat pada isi silabus tanpa mempertimbangkan kebutuhan siswa yang dihadapi
2. Menggunakan macam-macam metode yang relevan secara kreatif sesuai dengan sifat materi
2. Terpaku pada satu atau dua metoda mengajar  tanpa memperhatikan kesesuaiannnya dengan materi pelajaran
3. Luwes dalam melaksanakan rencana dan selalu berusaha mencari pengajaran yang efektif
3. Terikat hanya pada satu atau dua format dlaam merencanakan pengajaran
4. Pendekatan pengajrannya lebih problematik, sehingga siswa terdorong untuk berpikir
4. Pendekatan pengajrannya lebih preskriptif (perintah/hanya memberi petunjuk atau ketentuan)

Keterbukaan Psikologis Pribadi Guru
Hal lain yang juga menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan tugas seorang guru adalah keterbukaan psikologis itu sendiri. Keterbukaan ini merupakan dasar kompetensi profesional (kemampuan dan kewenangan melaksanakan tugas) keguruan yang harus di miliki oleh setiap guru.
Guru yang terbuka secara psikologis biasaya ditandai dengan kesediaannya yang relatif tiggi untuk mengkomunikasikan diriya dengan faktor-faktor ekstern antara lain siswa, teman sejawat dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau menerima kritik dengan ikhlas. Disamping itu, ia juga memiliki empati (empathy) yakni respons afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu orang lain (Reber, 1988). Jika salah seorang muridnya diketahui sedang mengalami kemalangan, umpamanya, maka ia turut bersedih dan menunjukan simpati serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat penting bagi guru mengingat posisinya sebagai anutan siswa. Selain sisi-sisi positif sebagaimana tersebut di atas, adapula signifikansi lain yang terkandung dalam keterbukaan psikologis guru seperti dibawah ini.
Pertama, keterbukaan psikologis merupakan pra kondisi atau prasyarat penting yang perlu di miliki guru untuk memahami pemikiran dan persaan orang lain. Kedua, keterbukaan psikologis diperlukan untuk menciptakan suasana hubungan antar pribadi guru dan siswa yang harmonis, sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan.
Keterbukaan psikologis merupakan sebuah konsep yang menyatakan kontinum (continuum) yakni rangkaian kesatuan yang bermula dari titik keterbukaan psikologis sampai sebaliknya, ketertutupan psikologis. Posisi seorang guru dalam kontinum tersebut ditentukan oleh kemampuannya dalam menggunakan pengalamnnya sendiri dalam hal berkeinginan, berperasaan, dan berfantasi untuk menyesuaikna diri. Jika kemampuan dan keterampulan dalam penyesuaian tadi makin besar, maka makin dekat pula tempat ribadinya dalam kutub kontinum keterbukaan psikologis tersebut. Secara sederhana, ini bermakna bahwa jika guru lebih cakap menyesuaikan diri, maka dia akan lebih memiliki keterbukaan diri.
Ditinjau dari sudut fungsi dan signifikansinya, keterbukaan psikologis meupakan karakteristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungannya sebagai direktur belajar, selain sebagai anutan siswanya. Oleh karena itu hany auru yang memilii keterbukaan psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses KBM. Optimisme ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu sendiri.
Kompetensi Professionalism Guru
Pengertian dasar kompetensi adalah kemapuan atau kecakapan. Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris itu cukup banyak dan yang lebih relevan dengan pembahasan ini ialah kata proficiency dan ability yang memiliki arti kurang lebih sama, yaitu kemampuan. Hanya, proficiency lebih sering digunakan orang untuk menyatakan kemampuan berperingkat tinggi.
Disamping berarti kemampuan, kompetensi juga berarti : keadaan berwewenang atau memenuhi syat=rat menurut ketentuan hukun (McLeod, 1989). Adapun komptensi guru menurut Barlow (1985) ialah kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya, guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Selanjutnya, kata “profesionalisme” yang mengiringi kata kompetensi ini dapat dipahami sebagai kualitas dan tindak tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional. Adapun kata profesionalistas yang terkadang dipakai sebagian pengarang kita, sesunguhnya tidak ada karena kata professionality yang dikira bentk asli dari profesionalitas itu tidak dikenal, kecuali (mungkin) dalam angan-angan pengarang itu saja.
Istilah “profesionalitas” aslinya adalah kata sifat dari kata profesi atau pekerjaan yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Sebagi kata benda, profesional kurang lebih berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan proficiency sebagai mata pencaharian (McLeod,1889).
Berdasarkan pertimbangan arti-arti di atas maka pengertian guru profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi sebagai sumber kehidupan. Kebalikannya adalah guru amatir yang dibarat disebut sub professional, seperti teacher aid (assisten guru). Di negara-negara maju khusunya di Australia asisten guru ini dikaryakan untuk membantu guru profesional dalam mengelola kelas, tetapi tidak mengajar. Terkadang, guru amatir tersebut ditugasi menangani keperluan belajar kelompok siswa tertentu. Misalnya kelompok imigran.
Lebih lanjut dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) psikologis yang meliputi :
1. kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta)
2. kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa)
3. kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa)
1. Kompetensi kognitif guru
Tanpa bermaksud mengurangi peranan kompetensi ranah psikologis yang lain, kompetensi ranah cipta menurut hemat penyusun merupakan kompetensi utam aynag wajib dimiliki oleh setiap calon guru dan guru profesional. Ia mengandung bermacam-macam pengetahuan baik yang bersifat deklaratif, maupun yang bersifat prosedural.
Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan yang relatif statis normatif dengan tatanan yang jelas dan dapat diungkapkan dengan lisan. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan praktis dan dinamis yang mendasari keterampilan melakukan sesuatu (Best, 1989; Anderson, 1990).
Pengetahuan dan keterampilan ranah cipta dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yaiut : 1) kategori pengetahuan kependidikan atau keguruan; 2) kategori pengetahuan bidang studi yang akan menjadi vak atau mata pelajaran yang akan diajarkan guru.
A. ilmu pengetahuan kependidikan
Menurut sifat dan kegunaannya disiplin ilmu kependidikan ini terdiri atas dua macam , yaitu : pengetahuan kependidikan umum dan pengetahuan kependidikan khusus. Pengetahuan kependidikan umum meliputi : ilmu pendidikan, psikologi pendidikan, administrasi pendidikan dan seterusnya. Semsntara itu pengetahuan kependidikan khusus meliputi : metode mnegajar, metodik khusus pengajaran materi tertentu, teknik evaluaasi, praktik keguruan, dan sebagainya.
Alhasil, pengetahuan atau ilmu pendidikan umum itu meliputi segenap pengetahuan kependidikan yang tidak langsung berhubungan dengan proses KBM. Sedangkan ilmu pendidikan khusus langsung berhubungan dengan praktik pengelolaan KBM.
B. ilmu pengetahuan materi bidang studi
Ilmu pengetahuan materi bidang studi meliputi semua bidang studi tang akan menjadi keahlian atau pelajaran yang akan diajarkan oleh guru. Dalam hal ini penguasaan atas pokok-pokok bahasan materi pelajaran yang terdapat dlam bidang studi yang menjadi bidang tugas guru, mutlak diperlukan. Penguasaan guru atas materi-materi bidang studi itu seyogianya dikaikan langsung dengan pengetahuan kependidikan khusus terutama dengan metodik khusus dan praktik keguruan.
Sebagai contoh, apabila anda hendak mengajar agama, maka anda harus menguasai secara luas dan mendalam pengetahuan mengenai materi-materi yang terdapat dalam bidang studi yang akan anda ajarkan (dalam hal ini bidang studi agama). Penguasaan anda terhadap materi tadi hendaknya dibarengi dengan penguasaan atas model-model, metode-metode, dan strategi mengajar yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan anda ajarkan itu.
Jenis kompetensi kognitif lain yang jugag perlu dimiliki oleh seorang gru adalah kemampuan mentransfer strategi kognitif kepada para siswa agar dapat belajar secara efisien dan efektif (Lawson, 1991). Guru diharapkan mampu menguah pilihan kebiasaan belajar siswa yang bermotif ekstrinsik menjadi bermotif intinsik. Upaya ini perlu dilakukan , sebab siswa yang berpreferensi kognitif ekstrinsik biasanya hanya memandang belajar sebagai alat pnangkal bahaya ketidak naikan atau ketidak lulusan saja. Dengan kata lain, siswa tersebut belajar hanya ingin mencapai cita-cita asal lulus semata (pass only aspiration).
2. kompetensi afektif guru
Kompetensi ranah afektif guru bersifat tertutup dan abstrak, sehingga amat sukar untuk diidentifikasi. Kompetensi ranah ini sebenarnya meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi seperti : cinat, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun demikian, kompetensi afektif (ranah rasa) yang paling penting dan yang palng sering dijadikan objek penelitian dan pembahasan psikologi pendidikan adalah sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengna profesi keguruan.
Sikap dan perasan diri itu meliputi:
1. self-concept dan self esteem
2. self-efficacy dan contextual efficacy
3. attitude of self-acceptance and others acceptance
Aneka ragam kompetensi ranah rasa itu selanjutnya akan penyusun uraikna berdasarkan hasil-hasil penelitian Bezzina (1990), Bezzina & Butcher (1990) dan Burns (1991).data dan informasi serta simpulan yang mereka tarik dari penelitian tersebut dipandang khas dan relevan dengan tugas guru profesional masa kini.
A. Konsep diri dan harga diri guru
Self-concept atau konsep diri guru ialah totalitas sikap dan persepsi seorang guru terhadap dirinya sendiri. Keseluruhan pandangan tersebut dapat dianggap deskripsi kepribadian guru yang bersangkutan. Sementara itu self-esteem (harga-diri) guru dapat diartikan sebagai tigkat pandangan dan penilaian seorang guru mengenai dirinya sendiri berdasrkan prestasinya. Titik tekan self-esteem terletak pada penilaian atau taksiran guru terhadap kualitas dirinya sendiri yang merupakan bagian dari self-concept.
Guru yang profesional memerlukan self-concept yang tinggi. Guru demikian dalam mengajarnya akan lebih cenderung memberi peluang luas kepada para siswa untuk berkreasi dibanding dengan guru yang ber-self-concept rendah (negatif). Guru yang ber-self- concept rendah biasanya lebih banyak “berkicau” sehingga tidak sempat memberi peluang kepada siswa untuk berkreasi seperti bertanya atau menyampaikan pendapat. Akibatnya para siswa menjadi “masyarakat bisu”.
Guru yang memiliki konsep-diri yang tinggi umumnya memiliki harga diri yang tinggi pula. Ia mempunyai keberanian mengajak dan mendorong serta membantu dengan sekuat tenaga kepada para siswanya agar lebih maju. Fenomena keberanian mengajak dan mendorong para siswa supaya maju itu didasari oleh keyakinan guru tersebut terhadap kualitas prestasi akademik yang telah ia miliki. Oleh karena itu, untuk memiliki konsep-diri yang positif, para guru perlu berusaha mencapai prestasi akademiksetinggi-tingginya dengan cara banyak belajar dan terus mengikuti perkembangan zaman.
B. Efikasi-diri dan efikasi-kontestual guru
Self-efficacy guru (efikasi guru), lazim juga disebut personal teacher efficacy, adalah keyakinan guru terhadap keefektifan kemampuannya sendiri dalam membangkitan gairah dan kegiatan para siswanya. Kompetensi ranah rasa ini berhubungan dengan kompetensi ranah rasa lainnya yang disebut teaching efficacy atau contextual efficacy yang beraryi kemampuan guru dalam berurusan dengan keterbatasan faktor di luar dirinya ketika ia mengajar. Artinya keyakinan guru terhadap kemampuannya sebagai pengajar profesional bukan hanya dalam menyajikan materi pelajaran di depan kelas saja, melainkan juga dalam hal memanipulasi (mendayagunakan) keterbaatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses mengajar-belajar.
Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 2043 orang guru dan mahasiswa calon guru prigram S1 diperoleh fakta, bahwa keyakinan terhadap kemampuan pribadi guru dan calon guru dalam membangkitkam minat belajar siswa-siswanya berkorelasi positif dan signifikan (mempunyai hubungan kuat dan berarti) dengan hasil belajar siswa-siswa tersebut. Artinya, responden yang berkeyakinan bahwa dirinya mampu mengajar dan menyingkirkan segala hambatan pengajaran (efikasi-kontekstual) yang ada, telah menimbulkan gairah belajar para siswa.
Sebaliknya, penelitian yang memakan waktu dua tahun di Australia itu, membuktikan bahwa guru dan calon guru yang kurang memiliki keyakinan terhadap kemampuan keguruannya telah menyebabkan merosotnya prestasi belajar para siswa. Penelitian tadi telah berhasil membuktikan para guru yang telah bertugas. Implikasinya ialah, bahwa program pendidikan keguruan (presevise education) masih perlu menambah “jam terbang” praktik mengajar kepada para mahasiswa calon guru. Padahal, program-program preservise education di negara itu telah menerapkan prinsip keseimbangan antara belajar di kampus dan praktik di lapangan.
C. Sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain
Sikap penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance attitude) adalah gejala ranah rasa seorang guru dalam berkecenderungan positif atau negatif terhadap dirinya sendiri berdasarkan penilaian yang lugas atas bakat dan kemampuannya. Sikap penerimaan terhadap diri sendiri ini diiringi dengan rasa puas terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri guru tersebut. Sikap seperti ini kurang lebih sama dengan sikap qana`ah dalam pendidikan akhlak. Sikap qana`ah terhadap kemampuan yang ada pada dirinya sendiri pada umumnya berprngaruh secara psikologis terhadap sikap penerimaan terhadp orang lain.
Sebagai pemberi layanan kepada siswa (sebagai pembantu dan pembimbing serta anutan kegiatan belajar siswa), guru seyogianya memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri. Alasannya, kompetensi berdifat seperti ini akan cukp berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kualitas dan kuantitas layanan kepada siswa.
Dulu, Sigmund, Freud beranggapan :..... the moe people love theirselves the less love they had over to give to other people (Burns , 1991) yang pada prinsipnya berarti bahwa ornag yang lebih banyak mencintai dirinya sendiri akan berakibat kurang mencintai orang lain. Freud mungkin menyangka bahwa cinta dan kasih sayang yang dimiliki manusia berdimensi sama dengan benda konkret seperti uang atau barang. Akibatnya, jika individu lebih mencintai barang atau uangnya ia akan menjadi bakhil terhadap orang lain.
Asumsi Freud yang terkesan direka-reka itu, yang tidak ditopang dengan data, pada prinsipnya menuding orang yang menyayangi dirinya sendiri sebagai orang yang tak akan menyayangi orang lain secara memadai. Namun, penalitian yang dilakukan ahli yang sezaman dengannya, Adler (1927) dan para ahli yang hidup pada zaman sesudahnya seperti Berger (1952) dan Jourard (1971), justru menunjukan hal sebaliknya.
Lebih dari itu, Burns (1991) menyimpulkan bahwa hanya orang yang berperasaan cukup positif terhadap dirinya (mencintai dan menghargai diri) saja yan gmampu mengurangi kebutuhan dirinya (seperti kebutuhan atas pengakuan dan kekuasaan) untuk memenuhi layanan kepada orang lain sesuai dengan kebutuhannya. Alhasil antara sikap dan penerimaan terhadap orang lain terdapat hubungan yang positif dan berarti.
3. Kompetensi psikomotor guru
Kompetensi psikomotor guru meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah, yang pelaksanaannya berhubungna dengan tugasnya selaku pengajar. Guru yang profesional memerlukan penguasaan yang prima atas sejumlah keterampilan ranah karsa yang langsung berkaitan dengan bidang studi garapannya.
Secara garis besar kompetensi ranah karsa guru terdiri atas dua kategori yaitu : 1) kecakapan fisik umum; 2) kecakapan fisik khusus. Kualitas kecakapan jasmaniah yang bersifat umum dan khusus itu sebagian besar tidak seluruhnya tergantung pada kualitas skemata yang terdiri atas skema-skema yang berisi pengetahuan-pengetahuan spesifik yang kompleks. Skemata (jamak dari skema ) ini tersimpan dalam subsistem memori permanen guru tersebut (Anderson,1990). Skemata dapat dianalogikan sebagai himpunan file data yang terekam dalam direktori komputer. Sednagkan skema sendiri merupakan file yang berisi data dan informasi khusus yang kompleks, yakni linguistik skema, kultural skema dan seterusnya.
Apabila suatu saat anda hendak mengajarkan bahasa Indonesia, umpamanya, maka skemata anda akan menampilkan file khusus yang berkenaan dengan bahasa, yakni linguistik skema. Lalu anda sendiri yang menentukan bagian yang akan diambil untuk keperluan pengajaran. Misalnya bagian kecakapan menulis atau bagian kecakapan membaca, atau bagian kecakapan menganalisis struktur kalimat.
Selanjutnya kecakapan fifik yang umum, direfleksikan ( diwujudkan dalam gerak ) dalam bentuk gerakan dan tindakan umum jasmani guru seperti duduk, berdiri, berjalan dan sebagainya yang tidak langsung berhubungan dengan aktivitas belajar. Kompetensi ranah karsa ragam ini selayaknya direfleksikan oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan tatakrama yang berlaku.
Adapun kecakapan ranah karsa guru yang khusus meliputi keterampilan-keterampilan ekspresi verbal (pernyataan lisan) dan non verbal (pernyataan tindakan) tertentu yang direfleksikan guru, terutama ketika mengelola proses belajar mengajar. Dalam hal merefleksikan ekpresi verbal, guru sangat diharapkan terampil dalam arti fasih dan lancar berbicara, baik ketika menyampaikan materi pelajaran ataupun  ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan para siswa dan mengomentari sanggahan dan pendapat mereka.
Namun demikian, guru yang cakap dalam ekspresi verbal, tidak berarti harus selalu bisa menjawab pertanyaan siswa atau berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam dirinya. Atau dengan kata lain berdiplomasi. Menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak diketahui olehnya dengan cara “menipu” atau mengajukan argumen yang dicari-cari sangatlah tidak bijaksana. Bersikap dan berperilaku jujur terhadap siswa meskipun membuat siswa tahu akan kekurangan guru tersebut, jauh lebih bijaksana dari pada berpura-pura dan menipu. Guru yang profesional harus memberi tahu secara jujur kepada siswanya bahwa ia lupa atau belum tahu sambil berjanji akan memberikan jawaban atas pertanyaan tadipada kesempatan lain.
Cara jujur seperti itu menunjukan fleksibilitas dan keterbukaan yang ideal bagi setiap guru. Ketidak tahuan guru yang profesional bagi siswa dalam dunia pendidikan modern saaat ini dianggap wajar dan manusiawi. Cepat atau lambat para siswa akan menyadari nobody knows everything, tak seorangpun yang tahu segala sesuatu.
Adapun mengenai keterampilan ekspresi nonverbal yang harus dikuasai guru ialah dalam hal mendemonstrasikan hal-hal yang terkandung dalam materi pelajaran. Kecakapan-kecqkapan tersebut meliputi: menulis dan membuat bagan di papan tulis; memeragakan proses terjadinya sesuatu; memeragakan penggunaan alat/sesuatu yang sedang dipelajari; dan memeragakan prosedur melakukan keterampilan praktis tertentu sesuai dangan penjelasan verbal yang talah dilakukan guru.
Perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan ekspresi nonverbal, guru hendaknya mempertahankan akurasi (kecermatan) dan konsistensi (keajegan) hubungan antara ekspresinonverbal tersebut dengan ekspresi verbal. Jadi, guru harus menyatukan ucapan dengan perbuatan. Hal ini penting, sebab jika akurasi dan konsistensi gagal diperlihatkan guru kepada para siswa, maka kepercayaan mereka kepada kepiawaian guru dan arti penting meteri pelajaran mungkin akan merosot. Dampak negatif selanjutnya, mungkin minat dan gairah para siswa dalam mempelajari materi tadi akan merosot pula.
Sehubungan dengan kesejajaran posisi antar-ragam kompetensi tersebut perlu dijelaskan bahwa sebagian elemen kompetensi itu saling memengaruhi satu sama lain. Di samping itu, ada pula beberapa elemen kompetensi yang lebih banyak dipengaruhi oleh elemen kompetensi lainnya. Contoh: kompetensi ranah cipta (kognitif) dapat memengaruhi efikasi diri dan harga-diri, tetapi efikasi-diri dan harga –diri tidak memengaruhi kualitas ranah cipta.
Sementara itu, hubungan antara kemampuan mentrasfer strategi kognitif dengan kecakapan ekspresi verbal dan nonverbal sering bersifat resiprokal atau bersifat timbal-balik.
Hubungan guru dengan proses pembelajaran
Berikut ini akan dibahas beberapa hal pokok mengenai hubungan antara guru dengan proses PMB. Hal-hal pokok tersebut meliputi: 1) konsep dasar PMB; 2)fungsi guru dalam PMB; 3) posisi guru dalam PMB
Konsep dasar proses PMB
A. definisi dan komunikasi dalam proses belajar-mengajar
            Pada umumnya para ahli sependapat bahwa yang disebut proses belajar-mengajar adalah sebuah kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar degan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Dalam kesatuan kegiatan ini terjadi interaksi resiprokal yakni hubungan antara guru dengan para siswa dalam situasi instruksional, yaitu suasana yang bersifat pengajaran.
Para siswa dalam situasi instruksional itu menjalani tahapan kegiatan belajar melalui interaksi dengan tahapan mengajar yang dilakukan guru. Namun , dalam proses belajar-mengajar masa kini disamping guru menggunakan interaksi resiprokal, ia juga dianjurkan memanfaatkan konsep komunikasi banyak arah untuk menciptakan suasana yang lebih kreatif dinamis dan dialogis (Pasal 40 ayat 2a UU Sisdiknas 2003).
Disamping para siswa melakukan proses belajar dalam suasana komunikasi dua arah, seyogianya mereka juga dapat melakukannya dalam suasana komunikasi multiarah. Hubungan tidak hanya terjadi antara siswa dengan guru dan sebaliknya, melainkan juga antara siswa dengan siswa-siswa yang lainnya.
Selanjutnya, kegitan PMB selayaknya dipandang sebagai sebuah kegiatan sistem yang memproses input, yakni para siswa yang diharapkan terdorong secara intrinsik untuk melakukan belajar aneka ragam materi pelajaran yang disajikan di kelas. Hasil yang diharapkan dari PMB tersebut adalah output berupa para siswa yang telah mengalami perubahan positif baik dimensi ranah cipta, rasa, maupun karsanya, sehingga cita-cita mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas pun tercapai.
B. Sasaran Kegiatan Proses Mengajar-Belajar
Setiap kegiatan mengajar-belajar, apapun materinya selalu memiliki sasaran (target). Sasaran, yang juga lazim disebut tujuan itu pada umumnya tertulis, walaupun ada juga sasaran tidak tertulis yang dikenal dengan objective in mind.sasaran yang dituju oleh KBM bersifat bertahap dan meliputi beberapa jenjang dari jenjang yang konkret dan langsung dapat dilihat dan dirasakan sampai yang bersifat nasional dan universal. Ditinjau dari sudut waktu pencapaiannya, sasaran KBM dapat dikategorikan dalam tiga macam, yakni:
1. Sasaran jangka pendek, seperti TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus).
2. Sasaran-sasaran jangka menengah, seperti tujuan pendidikan dasar, yakni untuk mempersiapkan siswa mengikuti pendidikan menengah.
3. Sasaran-sasaran jangka panjang, seperti tujuan pendidikan nasional.
Pada prinsipnya, setiap guru hanya wajib bertanggung jawab atas terselenggaranya proses mengajar-belajar vak atau bidang studi pegangannya. Namun di samping itu, ia pun dihrapkan ikut memikul tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan yang lebih jauh seperti tujuan institusional (satuan pendidikan tempatnya bertugas), dan tujuan nasional. Menyadari adanya keterkaitan antara pelaksanaan KBM bidang studi seorang guru dangan pelaksanaan KBM bidang studi lainnya, juga keterkaitan antara seluruh kegiatan KBM dangan tujuan yang bersifat konstitusional, maka setiap guruharus ikut memikul tanggung jawab mencapai tujuan bersama yang berskala nasional bahkan universal.
Alhasil, tanggung jawab para guru tidak terbatas pada pencapaian kecakapan-kacakapan tertentu yang dikuasai para siswa, tetapai lebih jauh lagi yakni mencapai tujuan-tujuan ideal. Tujuan-tujuan ideal itu meliputi:
1) Tujuan pengembangan pribadi para siswa sebagai individu mandiri;
2) Tujuan pengembangan pribadi para siswa sebagai warga dunia dan Makhluk Tuhan Yang Mahaesa.
Untuk memperjelas uraian keterkaitan antarpelbagai tujuan tadi, berikut ini disajikan sebuah model.
Dalam konteks pembahasan psikologi, tujuna khas yang menjadi tanggung jawab guru sekolah, adalah tujuan instruksional dan tujuan kurikuler. Namun, untuk melengkapi uraian pada bagian ini, penyusun kutipan isi Bab II pasal 2 UU Sistem Pendidikan Nasional /2003 tentang tujuan pendidikan nasional.
“.........bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Adapun tujuan pendidikan international / universal terdapat dalam dokumen PBB dalam hal ini UNESCO. Dlam dokumen yang khusus berisi tujuan pendidikan disebutkan bahwa sasaran minimal usaha pendidikan adalah terciptanya warga dunia yang memiliki kemampuan membaca dan menulis (literacy).
C. Strategi perencanaan proses mengajar-belajar
Strategi menurut pengertian bahasa inggris adalah siasat, kiat atau rencana. Dalam pembahasan mengenai PMN, strategi adalah prosedur atau langkah-langkah pelaksanaan mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sama halnya dengan strategi mengajar, strategi PMB juga memerlukan alokasi upaya kogniti (pertimbangan akal) secara cermat.
Pada umumnya, para ahli pendidikan seperti Newman & Legan (1971) mengemukakan empat langkah besar sebagai prosedur penyusunan rencana pengelolaan PMB. Langkah-langkah ini pada asasnya hanya merupakan “pendahuluaan” PMB yang akan diselenggarakan.
Pertama, merumuskan dan menetapkan spesifikasi output yang menjadi target yang hendak dicapai dengan memerhatikan aspirasi dan selera serta kebutuhan masyarakat yang memerlukan output tersebut.
Kedua, mempertimbangkan dan memilih cara atau pendekatan dasar proses mengajar-belajar yang dipandang paling efektif untuk mencapai target tadi.
Ketiga, mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah tepat yang akan ditempuh sejak titik awal hingga titik akhir yakni tercapainya hasil PMB.
Keempat, mempertimbangkan dan menetapkan kriteria dan standar yang akan dipergunakan untuk mengevaluasi taraf keberhasilan PMB.
Dari uraian di atas tergambar bahwa PMB bukanlah proses yang dpaat dilakukan dengan serampangan. Proses mengajar-belajar merupakan proses komunikasi edukatif yang menghendaki perencanaan cermat dan matang khususnya dalam hal prosedur pelaksanaannya dan kriteria minimum keberhasilannya.
Selanjutnya untuk menjamin pelaksanaan prosedur perancanaan tadi, guru perlu menyusun langkah-langkah konkret dan operasional untuk segera diimplementasikan dalam PMB. Langkah-langkah konkret ini meliputi:
Pertama, guru hendaknya merumuskan dan menetapkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus yang sesuai dengan pokok materi bidang studi yang akan diajarkan. Caranya, dengan menentukan spesifikasi dan kualifikasi kompetensi tertentu yang harus dikuasai para siswa setelah mengkuti PMB.
Kedua, guru hendaknya memilih dan menetapkan sistem pendekatan mengajar-belajar yang dipandang cocok dengan pokok bahasan yang akan disajikan sebagai pegangan dalam merencanakan dan mengorganisasikan PMB dan pengalaman belajarpara siswa yang dibutuhkan yakni bertanya jawab, berdiskusi dan sebagainya. Dalam hal ini guru dapat memilih satu sistem pembelajaran sebagaimana yang akan diuraikan dalam pembahasan “Strategi Pelaksanaan Proses Mengajar-Belajar”
Ketiga, menetapkan kriteria berupa norma atau batas tertentu sebagai tolok ukur keberhasilan minimum yang dicapai para siswa misalnya penentuan scor passing grade. Penentuan kriteria dan pasing grade ini selanjutnya diberlakukan untuk pedoman evaluasi prestasi dan umpan balik bagi penyempuranaan penggunaan sistem istruksional pada sesi-sesi PMB selanjutnya.
D. strategi pelaksanaan proses mengajar-belajar
Dlam melaksanakan rencana kegiatan PMB, guru seyogianya pandai-panda menentukan pendekatan sistem pembelajaran yang benar-benar pas dengan sifat poko bahasan, kemampuan para siswa, dan tujuan instruksional yang hendak dicapai. Kini, penelitian dan pembahasan segala aspek yang berkaitan dengan sistem instruksional semakin mendapatkan perhatian para ahli psikologi pendidikan. Hasilnya, tidak sedikit penemuan strategi-strategi baru pengajaran dan modivikasi sistem instruksional yang lebih baru sesuai kebutuhan pendidikan modern.
Sistem enquiry-discovery
Nama asli sistem ini adalah inquiring discovering learning yang kurang lebih berarti belajar oenyelidikan dan penemuan. Sebagai sebuah sistem PMB, sistem itu kini menduduki peringkat tinggi dalam dunia pendidikan modern. Pemakaiannya pun semakin meluas terutama setelah dilakukan modifikasi dan penyesuaian yang dibutuhkan oleh prinsip belajar yang disebut metalearning atau belajar sendiri dan kreatif sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya sendiri.
Adapun tahapan dan prosedur pelaksanaan sistem ini, yaitu meliputi:
1. Stimulation,yaitu dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan suatu masalah.
2. Problem statement, yakni dengan meme=berikan kesempatan pada siswa untuk mengidentifkasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian , salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3. Data collection, dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk membuktikan hipotesis.
4. Data processing, pengolahan data melalui wawancara, observasi, dsb, lalu ditafsirkan.
5. Verification, dengan pemerikasaan secara cermat antara hipotesis dan data processing.
6. Generalization, dengan menarik kesimpulan.
Akan tetapi, system ini mengandung kelemahan yakni:
1. relative memakan waktu yang lama
2. membuat materi menjadi kabur dan kacau, terutama jika PMB kurang terpimpin.
System expository
System ini merupakan kebalikan dari system enquiry discovery yang digunakan guru untuk meyampaikan materi secara menyeluruh dan utuh, lengkap, serta sistematis, dengan penyampaian secara verbal. Metode ini tak ubahnya seperti metode ceramah, yang di modifikasi sedemikian rupa, sehingga para siswa tidak hanya tinggal diam secara pasif seperti metode ceramah tradisional.
Adapun prosedur penyajian materi dengan system ini adalah sebgai berikut:
1. persiapan, guru menyiapkan materi secara lengkap dan sistematis.
2. apersepsi, guru bertanya atau menyampaikan materi untuk mengarahkan perhatian siswa terhadap materi yang akan disajikan.
3. penyajian, penyampaian materi oleh guru secara verbal, diktat ataupun ditulis di papan tulis.
4. penyebutan kembali, guru menyuruh siswa untuk menyatakan kembali mengenai materi yang telah disampaikan dengan manggunakan kata-kata sendiri.
System humanistic education
Pendekatan system ini lebih menekankan pengembangan martabat manusia yang bebas membuat pilihan dan berkeyakinan. Disamping itu, system ini juga menitik beratkan pada upaya membantu siswa agar dapat mencapai perwujudan dirinya sesuai dengan kemampuan dasar dan kekhususan yang ada pada dirinya.
Ciri yang khas dan paling mencolok ialah guru tidak dikehendaki menciptakan jarak yang tajam dengan murid. Dlam hal ini guru dianggap sebagai “siswa senior” yang siap menjadi narasumber, konsultan, dan juga pembicara. Sasaran akhir dalam system ini adalah tercapainya derajat manusia yang mampu mewujudkan dirinya di tengah kehidpuan masyarakat sesuai degan potensi yang ada dalam dirinya.
Fungsi guru dalam proses mengajar-belajar
Pada asasnya, fungsi guru dalam PMB adalah sebagai direktur belajar. Artinya, setiap guru diharapkan pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar emncapai keberhasilan belajar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sasaran kegiatan PMB. Sebagai konsekuensi, tugas dan tanggung jawab guru pun menjadi lebih kompleks dan berat pula.
Perluasan tugas dan tanggug jawab guru tersebut menimbulkan fungsi khusus yang menjadi bagian integral dalam kompetensi profesionalisme keguruan yang disandang oleh para guru. Menurut Cagne, setiap guru berfungsi sebagai:
1. designer of instruction
2. manager of instruction
3. evaluator of student learning
A. Guru sebagai designer of instruction
Fungsi ini menghendaki guru untuk senantiasa mampu dan siap merancang kegiatan mengajar-belajar yang berhasil guna dan berdaya guna. Untuk mewujudkan fungsi tersebut, maka setiap guru memerlukan pegetahuan yang memadai mengenai prinsip-prinsip belajar sebgai dasar dalam menyusun rancangan kegiatan megajar-belajar. Rancangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. memilih dan menentukan materi pengajaran.
2. merumuskan tujuan penyajian materi.
3. memilih metode penyajian materi yang tepat.
4. mengadakan kegiatan evaluasi belajar.
B. Guru sebagai manager of instruction
Fungsi ini menghendaki kemampuan guru dalam mengelola seluruh tahapan proses mengajar-belajar. Yakni dengan menciptakan situasi dan kondisi yang sebaik-baiknya, sehingga memungkinkan para siswa belajar secara berdayaguna dan berhasilguna. Selain itu, diciptakan pula situasi komunikasi multiarah antara guru dengan guru yang demokratis, agar dapat memerankan peran masing-masing secara integral dalam konteks komunkasi instruksional yang kodusif dan membuahkan hasil.
C. Guru sebagai evaluator of students learning
Fungsi ini menghendaki guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik siswa dalam setiap kurun waktu pembelajaran.
Pada asasnya, kegiatan evaluasi memerlukan kesinambungan, yang idealnya berlangsung sepanjang waktu dalam fase kegiatan belajar. Artinya, apabila hasil evaluasi tertentu menunjukkan kekurangan, maka siswa yang bersangkutan diharapkan dapat termotivasi untuk mengadakan perbaikan belajar. Sebaliknya, apabila evaluasi tertentu menunjukkan hasil memuaskan, maka siswa yang bersangkutan diharapkan termotivasi untuk meningkatkan volume belajaranya agar materi yang lebih kompleks dapat pula dikuasai.
Selanjutnya, hasil evaluasi tersebut diharapkan dapat dijadikan feedback untuk guru tersebut untuk melakukan penindaklanjutan proses pembelajaran. Hasil evaluasi juga seyogianya dijadikan pangkal tolak dan bahan pertimbangan dalam memperbaiki atau emningkatkan penyelenggaraan PMB pada masa yang akan datang. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran tidak akan statis, tetapi terus meningkat hingga mencapai puncak kinerja akademik yang memuaskan.
Posisi dan ragam guru dalam PMB
Dalam PMB setiap mata pelajaran, posisi para guru sangat penting dan strategis, meskipun gaya dan penampilan mereka bermacam-macam. Diantara mereka ada yang terlalu keras, dan ada pula yang terlalu lemah, bahkan “ogah-ogahan”.
A. Posisi guru dalam PMB
Menurut Claife (1976), guru adalah : … an authority in the discipline relevant to education, yakni pemegang hak otoritas atas cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam proses pembelajaran, guru memiliki posisi sebagai pengajar yang menyampaikan materi kepada murisnya. Selanjutnya, sebagai hasil, siswa menerima pelajaran dan belajar dengan dirinyay sendiri atas apa yang telah disampaikan oleh guru. Selain itu, sebagai hasil akhir, pembelajaran tersebut diharapkan dapat menimbulkan perubahan positif dalam tingkah laku, kognitif, afektif maupun psikomotorik siswa.
B. Ragam guru dalam PMB
Barlow (1985) mengemukakan ragam guru yakni sebagai berikut:
Pertama, guru otoriter. Secara harfiah, otoriter berarti sewenang-wenang. Dalam PMB, guru otoriter selalu mengarhkan aktivitas siswanya tanpa dapat di tawar-tawar. Ia hanya memberikan seidikit kesempatan pada siswa untuk berperan serta dalam memutuskan metode pengajaran yang baik untuk mereka. Guru otoriter, diakui dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan rencana, namun dpat menimbulkan kemarahan siswanya karena menghambat kreativitas siswanya.
Kedua, guru laissez-faire, yang lebih dikenal dengan individualism. Guru seperti ini selalu mengubah cara atau metode belajar, shingga dapat menyulitkan siswanya dalam beradaptasi dan persiapan. Sesungguhnya, ia tidak beitu menyukai profesinya sebagai guru, dan sifat “semau gue” nya, sering menimbulkan berbagai konflik.
Ketiga, guru demokratis. Guru ini merupakan guru yang paling baik dan ideal, karena ia memperhatikan persamaan hak dan kewajiban setiap orang. Hal ini menyebabkan guru seperti ini akan bekerja sama dengan rekan seprofesinya, anmaun tetap menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ditinjau dari sudut hasil pembelajarannya, guru demoktratis tidak jauh berbeda dengan otoriter, namun secara moral, guru demokratis lebih baik.
Keempat, guru otoritatif. Yakni guru yang berwibawa, yang memiliki dasar-dasar pengetahuan yang memadai, baik pengetahuan bidang materinya maupun pengetahuan umumnya. Biasanya dia memberikan perintah yang secara efektif dapat dilaksanakan oleh siswanya, dengan mengajaknya bekerja sama. Dalam hal ini, ia hamper sama dengan guru demokratis. Namun, dalam hal emberikan perintah, ia akan lebih efektif, karena lebih disegani oleh siswa, dan dipandang sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

Syah Muhibbin. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Comments

Popular posts from this blog

The analysis of short story girl by o henry

The analysis of short story girl by o henry 1. the point of view             The point of view that used in this short story is the 3rd person point of view and the dramatic. The third point of view because the writer mention the name of the characters in the short stories like: “......... robbins, fifty, something of an overweight beau, and addicted to first nights.... and Hartley, twenty-nine, serious, thin, good-looking, nervous.......” Beside that, the writer also using a noun and pronoun to tell the story to the reader like : “.... a man with an air of mistery came in the door and went up to Hartley....”             Beside that the dramatic point of view, we can see that from the way the writer tells the story and using the scene of the story like the real situation in life. On the other hand, the writer also tells us abt the problem taht might be always found in our life, like looking for the nany or the cook for their house. Which is not always easy to find the good

ASSESSING SPEAKING

ASSESSING SPEAKING      There are four categories of listening performance assessment tasks. A similar taxonomy emerges for oral production. Imitative      At one end of a continuum of types of speaking performance is the ability to simply parrot back (imitate) a word or phrase or possibly a sentence. While this is a purely phonetic level of oral production, a number of prosodic, lexical, and grammatical properties of language may be included in the criterion performance .      We are interested only in what is traditionally labeled”pronunciation” no inferences are made about the test takers ability to understand or convey meaning or to participate in an interactive conversation. The only role of listening here is in the short-term storage of a prompt,just long enough to allow the speaker to retain the short stretch of language that must be imitated. Intensive      A second type of speaking frequently employed in assessment contexts is the production of short streches of oral language

INTRODUCTION TO LITERATURE

Ketika mempelajari karya sastra –yang disebut dengan introduction to literature dalam bahasa inggris-, kita pasti bertanya-tanya apa sih yang dipelajari dalam mata kuliah ini? Nah, saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini sedikit. Dari asal katanya ,  introduction to literature  memperkenalkan karya sastra bahasa inggris. Sebenarnya konsep dasar dari literature baik dari bahasa indonesia, bahasa inggris maupun bahasa lainnya itu sama.  Yang membedakan antara satu karya sastra dari karya sastra yang lainnya hanyalah bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra tersebut. Literature itu sendiri sering diebut dengan  work of art , dimana tulisan dibuat sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan seni didalamnya. Jenis-jenis karya sastra  dalam bahasa inggris yaitu  prose , roleplay dan poetry .  Prose atau prosa dalam bahasa indonesia terdiri dari novel, novella dan short story. Jenis karya sastra seperti ini biasa kita temukan, bukan?  Bagi anda yang memiliki hobi membac