GURU
DAN PROSES MEGAJAR-BELAJAR
Pengertian Guru
A. Arti
guru dahulu dan sekarang
Sekurang-kurangnya
selama dua dasawarsa terakhir ini hampir setiap saat, media massa khususnya
media cetak harian dan mingguan memuat berita tentang guru. Namun,
berita-berita ini banyak yang cenderung melecehkan posisi para guru, sedangkan
para guru tersendiri nyaris tak mampu membela
diri.
Hugget
( 1985 ) mencatat sejumlah besar politisi Amerika Serikat yang mengutuk para
guru kurang profesional, sedangkan orang tua juga telah menuding mereka tidak
kompeten dan malas. Kalangan bisnis dan industrialis pun memprotes para guru
karena hasil didikan mereka dianggap tidak bermanfaat. Sudah tentu tuduhan dan
protes dari berbagai kalangan itu telah memerosotkan harkat para guru.
Bagaimanakah
nasib guru di negara kita? Pada zaman dulu, jauh sebelum era globalisasi
informasi, profesi dan posisi guru konon
dihormati seperti para priyayi. Dalam berbagai upara dan perayaan, mereka duduk
di deretan utama bersama para demang alias wedana.
Secara
ekonomis, penghasilan guru waktu itu memadai bahkan lebih. Secara psikologis,
harga diri dan wibawa mereka juga tinggi, sehingga para orang tua pun berterima
kasih jika anak-anaknya “diberikan pembelajaran“. Singkat cerita, posisi guru
dimata berbagai kalangan masyarakat pada masa lalu sangat tinggi dan terhormat.
Namun,
kini keadaan para guru telah berubah drastis. Profesi guru adalah profesi yang
“kering“, dalam arti kerja keraspara guru membangun Sumber Daya Manusia (SDM)
hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan,
harkat dan derajat mereka dimata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga
negara second class (kelas kedua).
Kemerosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh dibawah
rata-rata kalangan profesional lainnya.
Sementara
itu,wibawa para guru dimata murid-murid pun kian jauh. Murid-murid masa kini,
khususnya yang menduduki sekolah-sekolah menengah di kota-kota pada umumnya
hanya cenderung menghormati guru karena ada udang di balik batu. Sebagian
siswa-siswa di kota menghormati guru mereka karena ingin mendapat nilai yang
tinggi atau naik kelas dengan peringkat
tinggi tanpa kerja keras. Sebagian lainnya lagi menghormati guru agar
mendapatkan dispensasi “maaf dan maklum” apabila mereka telat dalam menyerahkan
tugas. Sikap dan perilaku masyarakat seperti itu memang tidak sepenuhnya tanpa
alasan yang bersumber dari guru.
Ada
sebagian guru yang terbukti memang berpenampila tidak mendidik. Ada yang
memberi hukuman badan (corporal punishmen)
diluar batas norma kependidikan,dan ada juga guru pria yang melakukan tindakan
asusila terhadap murid-murid
perempuannya.
Kelemahan
lain yang juga disandang sebagian guru kita adalah kerendahan tingkat
kompetensi profesionalisme mereka. Penguasaan mereka terhadap materi dan metode
pengajaran masih berada dibawah standar (Syah, 1988). Selain itu,ada dua buah
hasil penelitian resmi yang juga menunjukan kekurangmampuan guru,khususnya guru
sekolah dasar seperti teruangkap di bawah ini.
Hasil
penilitian Badan Litbang Depdikbud RI menyimpulkan,bahwa kemampuan membaca para
siswa kelas IV SD di Indonesia masih rendah,Simpulan ini ditarik dari data
penelitian yang cukup mengejutkan,yakni bahwa 76, 95% siswa kelas VI SD tidak dapat menggunakan kamus. Di
antara yang mampu menggunakan kamus pun ternyata hanya 5% yang dapat mencari
kata dalam kamus bahasa indonesia secara sistematis dan benar. Mentri
Koordinator Kesra yang menyoroti hasil penelitian tahun1993 menyebutkan, bahwa
kegagalan tersebut disebabkan pengajaran para guru hanya mementingkan
penguasaan huruf tanpa penguasaan makna. (Balitbang Depdikbud, 1994).
Bukti
lain kelemahan sebagian guru kita juga ditunjukan oleh hasil penelitian
psikologi yang melibatkan responden sebanyak 1975 siswa SD negeri dan swasta di jakarta. Penelitian
disertasi dokter Fakultas Psikologi UI itu menghasilkan simpulan bahwa guru di
sekolah-sekolah dasar tersebut tidak mampu mengidentifikasi siswa berbakat
(Anonim, 1993).
Kenyataan-kenyataan
negatif diatas,cepat atu lambat akan menjatuhkan prestise (wibawa yang
berkenaan dengan prestasi), khusunya prestise profesionalisme para guru.
Celakanya, kemerosotan prestise profesional sering diikuti dengan kemerosotan
prestise sosial dan prestise material (Mutrofin, 1993). Tanda-tandanya seperti
yang penyusun dikemukakan tadi,bahwa para guru kini kurang dihargai masyarakat
di samping kehidupan materi mereka yang serba pas-pasan.
Akibatnya,
tak mengherankan apabila diantara guru ada yang mengalami kelainan psikis
keguruan yang dikenal sebagai teacher burnout berupa stress dan frustasi yang
ditandai dengan sering murung dan mudah marah (Barlow, 1985) : (Tardif, 1989).
Boleh jadi, karena teacher burnout (pemadaman guru) inilah maka sebagian oknum
guru kita yang kurang kuat iman, berbuat di luar batas norma edukatif dan norma
asusila yang terungkap diatas.
B. Arti
guru masa mendatang
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia edisi kedua 1991, guru diartikan sebagai orang yang
pekerjaanya (mata pencahariannya) mengajar. Tapi, sesedehana inikah arti guru?
Kata Guru yang dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan dalam bahasa inggris teacher, itu memang memiliki arti
sederhana,yakni A person whose occuption is teaching others (MCLeod, 1989).
Artinya, Guru ialah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Pengertian-pengertian
itu masih bersifat umum,dan oleh karenanya dapat mengundang bermacam-macam
interprestasi dan bahkan juga konotasi. Pertama,kata seseorang (a person) bisa
mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya) mengajar.
Dalam hal ini berarti bukan hanya dia (seseorang) yang sehari-harinya mengajar
di sekolah yang dapat disebut guru, melainkan juga “dia-dia” lainnya yang berposisi sebagai : Kiai di Pesantren,
Instruktur di balai pendidikan dan pelatihan,dan bahkan juga sebagai pesilat di
padepokan. Kedua,kata mengajar dapat pula ditafsirkan bermacam-macam,misalnya:
1)
Menularkan pengetahuan
dan Kebudayaan kepada orang lain (bersifa kognitif);
2)
Melatih keterampilan
jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotor);
3)
Menanamkan nilai dan
keyakinan kepada orang lain (bersifat afektif).
Terlepas
dari aneka ragam interprestasi tadi,guru yang dimaksud dalam pembahasan ini
ialah pendidik profesional yang wajib memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan (UU Sisdiknas 2003 Bab XI Pasal 40 ayat 2b). Selanjutnya,kegiatan
mengajar yang dilakukan guru itu tidak hanya berorientasi kecskspsn-kecskspsn
berdimensi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa dan
karsa. Sebab dalam Perspektif psikologi pendidikan,mengajar pada prinsipnya
berarti belajar,dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Perilaku ini
meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka
seperti keterampilan membaca (ranah karsa),juga yang bersifat tertutup
seperti berpikir (ranah cipta) dan perasaan (ranah rasa).
Jadi,seperti
yang telah di singgung berkali-kali pada bab sebelum ini,mengajar pada
hakikatnya sama dengan mendidik. Oleh karena itu,tidak perlu heran apabila
seorang guru yang sehari-harinya sebagai pengajar lazim juga disebut pendidik.
Guru
sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap
usaha pendidikan. Itulah sebabnya setiap perbincangan mengenai pembaruan
kurikulum,pengadaan alat-alat belajar sampai pada kriteria sumber daya manusia
yang dihasilkan oleh usaha pendidikan. Selalu bermuara pada guru. Hal ini
menunjukan betapa signifikan (berarti penting) posisi guru dalam dunia
pendidikan.
Selanjutnya,pada
masa-masa mendatang ada harapan baru yang cukup menjanjikan bagi guru dan orang
yang ingin menjadi guru dengan cukup menjanjikan bagi guru dan orang yang ingin
menjadi guru dengan keluarnya UU guru dan dosen No. 14/2005, juga PP RI No.
38/1992 yang memuat 64 pasal tentang Tenaga Kependidikan. Kehadiran PP ini
membawa implikasi (hubungan keterlihatan) yang cukupfundamental dan realistis
meskipun dalam hal tertentu perlu dipertanyakan.
Guru,
menurut Pasal 35 PP 38/1992, diperkenankan bekrja di luar tugasnya untuk
memperoleh penghasilan sepanjang tidak mengganggu tugas utamanya. Kebolehan
mengerjakan tugas lain memberi kesan berkurangnya derajat keguruan para guru
walaupun para guru tugas utama mereka sebagai pengajar, apalagi jika mengingat
tidak tegasnya batasan mengganggu tugas utama itu. Pantaskah seorang guru
menjadi calo karcis bioskop pada malam hari atau menjadi pedagang asongan di
stasiun pada hari2 libur?
Terlepas
dari persoalan di atas rupanya pemerintah bermaksud mengambil jalan pintas
dalam menyejahterakan kehidupan ekonomi para guru, misalnya dengan memberi
tunjangan profesi asalkan memiliki sertifikat profesional. Selain itu, para
guru juga boleh melakukan “profesi kedua” paling tidak sampai pemerintah
menaikan gaji mereka secara memuaskan.
Hal
lain yang perlu juga mendapat sorotan adalah isi Pasal 15 (2) PP tersebut, yang
memberi peluang kepada para sarjana fakultas keguruan untuk menjadi guru dengan
syarat memiliki akta mengajar. Akta ini dikeluarkan oleh LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan program akta pada fakultas tarbiyah untuk
menjadi guru agama. Jadi seorang sarjana teknik yang berasal dari instansi
manapun dapat diangkat menjadi guru tekhnik seperti sarjana lulusan fakultas
keguruan jurusan tekhnik. Konotasinya ialah keharusan memiliki pengalaman
pendidikan dan ijazah sarjana keguruan, misalnya dari Fip dan fakultas Tarbiyah
dan Keguruan seakan-akan diperlukan lagi untuk diangkat menjadi guru.
Kita
memang tak perlu berburuk sangka. Namun, yang perlu diwaspadai adalah
kekurangmampuan mengelola PMB, mengingat diperlukan waktu 5 tahun untuk
memperoleh S.1 untuk belajar dan berlatih mengelola PMB. Selain itu, kenyataan
di lapangan menunjukan bahwa output LPTK, seperti yang diakui oleh Mendik RI,
belum memuaskan, terbukti dengan tidak sesuainya guru bidang studi dan
rendahnya kualitas PMB, jugamasih kurangnya kualitas dosen pengelola LPTK itu
sendiri.
Idealnya,
seseorang yang memiliki bakat untuk menjadi guru terlebih dahulu menempuh
pendidikan formal keguruan selama kurun waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan
institusi pendidikan yang akan menjadi tempat kerjanya. Selain itu, ragam mata
kuliah yang dipelajari di fakultas-fakultas keguruan itupun seyogyanya lebih
spesifik dan orientasi pada kompetensi dan profesionalisme keguruan yang
memadai.
Sehubungan
dengan hal itu, ragam mata kuliah yang tidak ada kaitannya dengan bidang-bidang
studi keahlian dan teori-teori kependidikan, seyogyanya dikurangi higga batas
paling minimal, misalnya dengan hanya menambah mata kuliah yang secara
konstitusional diwajibkan, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan,
dan Bahasa (lihat UU Sisdikna 2003 Bab X Pasal 37 Ayat 2).
Di
negara-negara maju, pendidikan keguruan lazim disebut Preservice education, dan
diselenggarakan baik oleh Universitas maupun oleh “kolij” (college) semacam CAE
(College of Advanced Education) kalau
di Australia. Kolij ini kira-kira setara dengan sekolah tinggi kalau di
Indonesia. Ada dua macam keguruan yang ditawarkan oleh universitas dan CAE,
yaitu program Bachelor of Education
(B. Ed.) setara dengan S.1 karena satu level di bawah M.Ed., dan program Diploma of teaching atau Diploma of Education yang lebih kurang
setara dengan program D3 di Indonesia.
Kegiatan
belajar program-program tersebut meliputi pertemuan kelas (tutorial, seminar,
diskusi kelompok) dan praktikum lapangan bobot seimbang. Sejak puluhan tahun
yang lalu, di Australia bahkan sudah mulai ada institusi preservice education yang menyelenggarakan program pendidikan
keguruan yang hampir seluruh kegiatannya dilakukan di sekolah-sekolah tempat
praktik. Program ini disebut school-based
preservice education (Tardif, 1989).
Di
Indonesia upaya pengadaan guru justru seolah-olah tidak harus dihubungkan
dengan preservice education yan
intensif, meskipun menyediakan fakultas-fakultas keguruan untuk macam-macam
studi dan fakultas tarbiyah yang siap memasok guru agama dan bahasa Arab bahkan
guru bahasa asing, matematika, dsb. Memang kita tidak harus menjiplak sistem
pengadaan guru ala Barat, tetapi mengambil pelajaran dari mereka yang sudah
lebih dahulu maju untuk membuat terobosan-terobosan baru, apa salahnya?
Karakteristik Kepribadian Guru
Dalam
arti sederhana kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada
sikap dan perbuatannnya yang membedakan dirinya dengna yang lain. McLeod (1989)
mengartikan kepribadian atau personality sebgaai sifat khas yang dimiliki
seseorang. Dalam hal ini kata lain yang sangat artinya dengan kepribadian
adalah karakter dan identitas.
Menurut
tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan
aspek prilaku mental (pikiran, perasaan dan sebagainya) dengan aspek perilaku
behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspke ini berkaitan secara fungsional dalam
diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan
tetap (Reber, 1988). Dari perilaku psiko-fisik (rohani \-jasmani) yang khas dan
menetap tersebut muncul julukan-julukan yang bermaksud menggambarkan
kepribadian seseorang, seperti : pak Amir juju, si Kaslan pemalas, dan
sebagainya.
Kepribadian
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru
sebagai pengembang sumber daya manusia. Mengapa demikian? Alasannya, disamping
ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu, seperti yang telah penyusun
kemukakan, guru juga berperan sebagai anutan.
Mengenai pentingnya kepribadian guru, seorang
psikolog terkemuka, profesor Doktor Zakiah Daradjat (1982) menegaskan :
Kepribadian
itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik
bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa
depan ank didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah
dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Oleh
karena itu, setiap calon guru dan guru profesional angat diharapkan memahami
karakteristik (ciri khas) kepribadian dirinya yang diperlukan sebagai panutan
para siswanya. Secara konstitusional, guru/pendidik pada setiap jenjang
pendidikan formal wajib memiliki satuan kualifikasi (keahlian yang diperlukan)
dan sertifikasi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi (pasal
42 ayat 1 dan 2 UU Sisdiknas 2003).
Karkteristik
kepribadan yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya
adalah meliputi: 1) fleksibilitas kognitif; 2) keterbukaan psikologis.
Fleksibilitas Kognitif Guru
Fleksibilitas
kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti
dengan tindakan yang memadai dalam situasi tertentu. Kebalikannya adalah
frigiditas kognitif (kekakuan ranah cipta) yang ditandai dengan kurangnya
kemampuan berpikir f=dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
Guru
yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbuakan berpikir dan
beradaptasi. Selain itu, ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap
ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan
pengenalan. Ketika mengamati dan menganalisa suatu objek atau situasi tertentu seorang guru yang
fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis (critical thinking) ialah
berpikir dengan penuh pertmbangan akal sehat (reasonable reflektive) yang
dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari
sesuatu, dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye, 1990).
Dalam
PMB, fleksibilitas kognitif guru terdiri atas 3 dimensi, yakni:
1)
Dimensi
karakteristik pribadi guru;
2)
Dimensi sikap
kognitif guru terhadap siswa; dan
3)
Dimensi sikap
kognitif guru terhadap materi pelajaran dan metoda mengajar.
Selanjutnya akan penyusun
uraikan mengenai perbedaan karakteristik dan sikap guru yang luwes dengan
karakteristik dan sikap guru yang kaku. Untuk mempermudah penelaah anda,
penyusun akan menyajikannya dalam bentuk tabel. Tabel-tabel ini bersumber dari
Daradjat (1982), Surya (1982), Burns (1991), dan Petty (2004).
Karakteristik kognitif pribadi guru
Ciri Perilaku Kognitif Pribadi Guru
|
|
Guru luwes
|
Guru kaku
|
1. Menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan kegiatan belajar-mengajar
|
1. Tampak
terlampau dkuasai oleh rencana pelajaran, sehingga alokasi waktu sangat kaku
|
2. Menjadikan materi pelajaran berguna bagi kehidupan nyata siswa
|
2. Tak mampu memodifikasi materi silabus
|
3. Memepertimbangkan beberapa alternatif cara mengkomunikasikan isi
pelajaran kepada siswa
|
3. Tak mampu
menangani hal yang terjadi secara tiba-tiba ketika pelajaran berlangsung
|
4. Mampu merencanakan sesuatu dalam keadaan mendesak
|
4. Terpaku pada
aturan yang berlaku meskipun kurang relevan
|
5. Dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan situasi KBM
yang menarik
|
5. Terpaku pada isi materi dan metode yang baku sehingga situasi KMB monoton
dan membosankan
|
Sikap Kognitif Guru terhadap Siswa
Ciri Sikap Kognitif Guru
|
|
Guru Luwes
|
Guru Kaku
|
1. Menunjukan
perilaku demokratis dan tenggang rasa pada semua siswa
|
1. Terlalu memperhatikan
siswa yang pandai dan mengabaikan siswa yang lamban
|
2. Responsif terhadap
kelas (mau melihat, mendengar, dan merespon masalah disiplin, kesulitan
belajar dan sebagainya)
|
2. Tidak mampu
atau tidak mau mencatat isyarat adanya masalah dalam KBM
|
3. Memandang siswa
sebagai mitra dalam KBM
|
3. Memandang
siswa sebagai objek yang berstatus rendah
|
4. Menilai siswa
berdasarkan faktor-faktor yang memadai
|
4. Menilai siswa
secara serampangan
|
5. Berkesinambungan
dalam menggunakan ganjaran dan hukuman sesuai dengan penampilan siswa
|
5. Lebih banyak
menghukum dan kurang membrikan ganjaran yang memadai atas prestasi yang
dicapai siswa
|
Sikap Kognitif guru terhadap materi dan metoda
Ciri sikap kognitif guru
|
|
Guru luwes
|
Guru kaku
|
1. Menyusun dan
menyajikan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa
|
1. Terikat pada
isi silabus tanpa mempertimbangkan kebutuhan siswa yang dihadapi
|
2. Menggunakan macam-macam metode yang relevan secara kreatif sesuai dengan
sifat materi
|
2. Terpaku pada
satu atau dua metoda mengajar tanpa memperhatikan
kesesuaiannnya dengan materi pelajaran
|
3. Luwes dalam
melaksanakan rencana dan selalu berusaha mencari pengajaran yang efektif
|
3. Terikat hanya
pada satu atau dua format dlaam merencanakan pengajaran
|
4. Pendekatan
pengajrannya lebih problematik, sehingga siswa terdorong untuk berpikir
|
4. Pendekatan
pengajrannya lebih preskriptif (perintah/hanya memberi petunjuk atau
ketentuan)
|
Keterbukaan Psikologis
Pribadi Guru
Hal lain yang juga menjadi
faktor yang turut menentukan keberhasilan tugas seorang guru adalah keterbukaan
psikologis itu sendiri. Keterbukaan ini merupakan dasar kompetensi profesional (kemampuan
dan kewenangan melaksanakan tugas) keguruan yang harus di miliki oleh setiap
guru.
Guru yang terbuka secara
psikologis biasaya ditandai dengan kesediaannya yang relatif tiggi untuk
mengkomunikasikan diriya dengan faktor-faktor ekstern antara lain siswa, teman
sejawat dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau menerima kritik
dengan ikhlas. Disamping itu, ia juga memiliki empati (empathy) yakni respons
afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu orang lain (Reber,
1988). Jika salah seorang muridnya diketahui sedang mengalami kemalangan,
umpamanya, maka ia turut bersedih dan menunjukan simpati serta berusaha memberi
jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat
penting bagi guru mengingat posisinya sebagai anutan siswa. Selain sisi-sisi
positif sebagaimana tersebut di atas, adapula signifikansi lain yang terkandung
dalam keterbukaan psikologis guru seperti dibawah ini.
Pertama, keterbukaan psikologis
merupakan pra kondisi atau prasyarat penting yang perlu di miliki guru untuk memahami
pemikiran dan persaan orang lain. Kedua, keterbukaan psikologis diperlukan
untuk menciptakan suasana hubungan antar pribadi guru dan siswa yang harmonis,
sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa
ganjalan.
Keterbukaan psikologis
merupakan sebuah konsep yang menyatakan kontinum (continuum) yakni rangkaian
kesatuan yang bermula dari titik keterbukaan psikologis sampai sebaliknya,
ketertutupan psikologis. Posisi seorang guru dalam kontinum tersebut ditentukan
oleh kemampuannya dalam menggunakan pengalamnnya sendiri dalam hal
berkeinginan, berperasaan, dan berfantasi untuk menyesuaikna diri. Jika
kemampuan dan keterampulan dalam penyesuaian tadi makin besar, maka makin dekat
pula tempat ribadinya dalam kutub kontinum keterbukaan psikologis tersebut.
Secara sederhana, ini bermakna bahwa jika guru lebih cakap menyesuaikan diri,
maka dia akan lebih memiliki keterbukaan diri.
Ditinjau dari sudut fungsi dan
signifikansinya, keterbukaan psikologis meupakan karakteristik kepribadian yang
penting bagi guru dalam hubungannya sebagai direktur belajar, selain sebagai
anutan siswanya. Oleh karena itu hany auru yang memilii keterbukaan psikologis
yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses KBM.
Optimisme ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam
berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya
kebutuhan guru itu sendiri.
Kompetensi
Professionalism Guru
Pengertian dasar kompetensi
adalah kemapuan atau kecakapan. Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris
itu cukup banyak dan yang lebih relevan dengan pembahasan ini ialah kata
proficiency dan ability yang memiliki arti kurang lebih sama, yaitu kemampuan.
Hanya, proficiency lebih sering digunakan orang untuk menyatakan kemampuan
berperingkat tinggi.
Disamping berarti kemampuan,
kompetensi juga berarti : keadaan berwewenang atau memenuhi syat=rat menurut
ketentuan hukun (McLeod, 1989). Adapun komptensi guru menurut Barlow (1985)
ialah kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi, kompetensi
profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru
dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya, guru yang piawai dalam
melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan
profesional.
Selanjutnya, kata
“profesionalisme” yang mengiringi kata kompetensi ini dapat dipahami sebagai
kualitas dan tindak tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional. Adapun
kata profesionalistas yang terkadang dipakai sebagian pengarang kita,
sesunguhnya tidak ada karena kata professionality yang dikira bentk asli dari
profesionalitas itu tidak dikenal, kecuali (mungkin) dalam angan-angan
pengarang itu saja.
Istilah “profesionalitas”
aslinya adalah kata sifat dari kata profesi atau pekerjaan yang berarti sangat
mampu melakukan pekerjaan. Sebagi kata benda, profesional kurang lebih berarti
orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan proficiency sebagai
mata pencaharian (McLeod,1889).
Berdasarkan pertimbangan
arti-arti di atas maka pengertian guru profesional adalah guru yang
melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi sebagai sumber kehidupan.
Kebalikannya adalah guru amatir yang dibarat disebut sub professional, seperti
teacher aid (assisten guru). Di negara-negara maju khusunya di Australia
asisten guru ini dikaryakan untuk membantu guru profesional dalam mengelola
kelas, tetapi tidak mengajar. Terkadang, guru amatir tersebut ditugasi
menangani keperluan belajar kelompok siswa tertentu. Misalnya kelompok imigran.
Lebih lanjut dalam menjalankan
kewenangan profesionalnya, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan
(competencies) psikologis yang meliputi :
1. kompetensi kognitif
(kecakapan ranah cipta)
2. kompetensi afektif
(kecakapan ranah rasa)
3. kompetensi psikomotor
(kecakapan ranah karsa)
1. Kompetensi kognitif
guru
Tanpa
bermaksud mengurangi peranan kompetensi ranah psikologis yang lain, kompetensi
ranah cipta menurut hemat penyusun merupakan kompetensi utam aynag wajib
dimiliki oleh setiap calon guru dan guru profesional. Ia mengandung
bermacam-macam pengetahuan baik yang bersifat deklaratif, maupun yang bersifat
prosedural.
Pengetahuan
deklaratif merupakan pengetahuan yang relatif statis normatif dengan tatanan
yang jelas dan dapat diungkapkan dengan lisan. Pengetahuan prosedural adalah
pengetahuan praktis dan dinamis yang mendasari keterampilan melakukan sesuatu
(Best, 1989; Anderson, 1990).
Pengetahuan
dan keterampilan ranah cipta dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yaiut :
1) kategori pengetahuan kependidikan atau keguruan; 2) kategori pengetahuan
bidang studi yang akan menjadi vak atau mata pelajaran yang akan diajarkan guru.
A. ilmu pengetahuan
kependidikan
Menurut
sifat dan kegunaannya disiplin ilmu kependidikan ini terdiri atas dua macam ,
yaitu : pengetahuan kependidikan umum dan pengetahuan kependidikan khusus.
Pengetahuan kependidikan umum meliputi : ilmu pendidikan, psikologi pendidikan,
administrasi pendidikan dan seterusnya. Semsntara itu pengetahuan kependidikan
khusus meliputi : metode mnegajar, metodik khusus pengajaran materi tertentu,
teknik evaluaasi, praktik keguruan, dan sebagainya.
Alhasil,
pengetahuan atau ilmu pendidikan umum itu meliputi segenap pengetahuan
kependidikan yang tidak langsung berhubungan dengan proses KBM. Sedangkan ilmu
pendidikan khusus langsung berhubungan dengan praktik pengelolaan KBM.
B. ilmu pengetahuan
materi bidang studi
Ilmu
pengetahuan materi bidang studi meliputi semua bidang studi tang akan menjadi
keahlian atau pelajaran yang akan diajarkan oleh guru. Dalam hal ini penguasaan
atas pokok-pokok bahasan materi pelajaran yang terdapat dlam bidang studi yang
menjadi bidang tugas guru, mutlak diperlukan. Penguasaan guru atas
materi-materi bidang studi itu seyogianya dikaikan langsung dengan pengetahuan
kependidikan khusus terutama dengan metodik khusus dan praktik keguruan.
Sebagai
contoh, apabila anda hendak mengajar agama, maka anda harus menguasai secara
luas dan mendalam pengetahuan mengenai materi-materi yang terdapat dalam bidang
studi yang akan anda ajarkan (dalam hal ini bidang studi agama). Penguasaan
anda terhadap materi tadi hendaknya dibarengi dengan penguasaan atas model-model,
metode-metode, dan strategi mengajar yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan
anda ajarkan itu.
Jenis
kompetensi kognitif lain yang jugag perlu dimiliki oleh seorang gru adalah
kemampuan mentransfer strategi kognitif kepada para siswa agar dapat belajar
secara efisien dan efektif (Lawson, 1991). Guru diharapkan mampu menguah
pilihan kebiasaan belajar siswa yang bermotif ekstrinsik menjadi bermotif
intinsik. Upaya ini perlu dilakukan , sebab siswa yang berpreferensi kognitif
ekstrinsik biasanya hanya memandang belajar sebagai alat pnangkal bahaya
ketidak naikan atau ketidak lulusan saja. Dengan kata lain, siswa tersebut
belajar hanya ingin mencapai cita-cita asal lulus semata (pass only
aspiration).
2. kompetensi afektif
guru
Kompetensi
ranah afektif guru bersifat tertutup dan abstrak, sehingga amat sukar untuk
diidentifikasi. Kompetensi ranah ini sebenarnya meliputi seluruh fenomena
perasaan dan emosi seperti : cinat, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap
tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun demikian, kompetensi
afektif (ranah rasa) yang paling penting dan yang palng sering dijadikan objek
penelitian dan pembahasan psikologi pendidikan adalah sikap dan perasaan diri
yang berkaitan dengna profesi keguruan.
Sikap
dan perasan diri itu meliputi:
1. self-concept dan
self esteem
2. self-efficacy dan
contextual efficacy
3. attitude of
self-acceptance and others acceptance
Aneka
ragam kompetensi ranah rasa itu selanjutnya akan penyusun uraikna berdasarkan
hasil-hasil penelitian Bezzina (1990), Bezzina & Butcher (1990) dan Burns
(1991).data dan informasi serta simpulan yang mereka tarik dari penelitian
tersebut dipandang khas dan relevan dengan tugas guru profesional masa kini.
A. Konsep diri dan
harga diri guru
Self-concept
atau konsep diri guru ialah totalitas sikap dan persepsi seorang guru terhadap
dirinya sendiri. Keseluruhan pandangan tersebut dapat dianggap deskripsi
kepribadian guru yang bersangkutan. Sementara itu self-esteem (harga-diri) guru
dapat diartikan sebagai tigkat pandangan dan penilaian seorang guru mengenai
dirinya sendiri berdasrkan prestasinya. Titik tekan self-esteem terletak pada
penilaian atau taksiran guru terhadap kualitas dirinya sendiri yang merupakan
bagian dari self-concept.
Guru
yang profesional memerlukan self-concept yang tinggi. Guru demikian dalam
mengajarnya akan lebih cenderung memberi peluang luas kepada para siswa untuk
berkreasi dibanding dengan guru yang ber-self-concept rendah (negatif). Guru
yang ber-self- concept rendah biasanya lebih banyak “berkicau” sehingga tidak
sempat memberi peluang kepada siswa untuk berkreasi seperti bertanya atau
menyampaikan pendapat. Akibatnya para siswa menjadi “masyarakat bisu”.
Guru
yang memiliki konsep-diri yang tinggi umumnya memiliki harga diri yang tinggi
pula. Ia mempunyai keberanian mengajak dan mendorong serta membantu dengan
sekuat tenaga kepada para siswanya agar lebih maju. Fenomena keberanian
mengajak dan mendorong para siswa supaya maju itu didasari oleh keyakinan guru
tersebut terhadap kualitas prestasi akademik yang telah ia miliki. Oleh karena
itu, untuk memiliki konsep-diri yang positif, para guru perlu berusaha mencapai
prestasi akademiksetinggi-tingginya dengan cara banyak belajar dan terus
mengikuti perkembangan zaman.
B. Efikasi-diri dan
efikasi-kontestual guru
Self-efficacy
guru (efikasi guru), lazim juga disebut personal teacher efficacy, adalah
keyakinan guru terhadap keefektifan kemampuannya sendiri dalam membangkitan
gairah dan kegiatan para siswanya. Kompetensi ranah rasa ini berhubungan dengan
kompetensi ranah rasa lainnya yang disebut teaching efficacy atau contextual
efficacy yang beraryi kemampuan guru dalam berurusan dengan keterbatasan faktor
di luar dirinya ketika ia mengajar. Artinya keyakinan guru terhadap
kemampuannya sebagai pengajar profesional bukan hanya dalam menyajikan materi
pelajaran di depan kelas saja, melainkan juga dalam hal memanipulasi
(mendayagunakan) keterbaatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan
dengan proses mengajar-belajar.
Dalam
sebuah penelitian yang melibatkan 2043 orang guru dan mahasiswa calon guru
prigram S1 diperoleh fakta, bahwa keyakinan terhadap kemampuan pribadi guru dan
calon guru dalam membangkitkam minat belajar siswa-siswanya berkorelasi positif
dan signifikan (mempunyai hubungan kuat dan berarti) dengan hasil belajar
siswa-siswa tersebut. Artinya, responden yang berkeyakinan bahwa dirinya mampu
mengajar dan menyingkirkan segala hambatan pengajaran (efikasi-kontekstual)
yang ada, telah menimbulkan gairah belajar para siswa.
Sebaliknya,
penelitian yang memakan waktu dua tahun di Australia itu, membuktikan bahwa
guru dan calon guru yang kurang memiliki keyakinan terhadap kemampuan
keguruannya telah menyebabkan merosotnya prestasi belajar para siswa.
Penelitian tadi telah berhasil membuktikan para guru yang telah bertugas.
Implikasinya ialah, bahwa program pendidikan keguruan (presevise education)
masih perlu menambah “jam terbang” praktik mengajar kepada para mahasiswa calon
guru. Padahal, program-program preservise education di negara itu telah menerapkan
prinsip keseimbangan antara belajar di kampus dan praktik di lapangan.
C. Sikap penerimaan
terhadap diri sendiri dan orang lain
Sikap
penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance attitude) adalah gejala ranah
rasa seorang guru dalam berkecenderungan positif atau negatif terhadap dirinya
sendiri berdasarkan penilaian yang lugas atas bakat dan kemampuannya. Sikap
penerimaan terhadap diri sendiri ini diiringi dengan rasa puas terhadap
kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri guru tersebut. Sikap seperti ini
kurang lebih sama dengan sikap qana`ah dalam pendidikan akhlak. Sikap qana`ah
terhadap kemampuan yang ada pada dirinya sendiri pada umumnya berprngaruh
secara psikologis terhadap sikap penerimaan terhadp orang lain.
Sebagai
pemberi layanan kepada siswa (sebagai pembantu dan pembimbing serta anutan
kegiatan belajar siswa), guru seyogianya memiliki sikap positif terhadap
dirinya sendiri. Alasannya, kompetensi berdifat seperti ini akan cukp
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kualitas dan kuantitas layanan kepada
siswa.
Dulu,
Sigmund, Freud beranggapan :..... the moe people love theirselves the less love
they had over to give to other people (Burns , 1991) yang pada prinsipnya
berarti bahwa ornag yang lebih banyak mencintai dirinya sendiri akan berakibat
kurang mencintai orang lain. Freud mungkin menyangka bahwa cinta dan kasih
sayang yang dimiliki manusia berdimensi sama dengan benda konkret seperti uang
atau barang. Akibatnya, jika individu lebih mencintai barang atau uangnya ia
akan menjadi bakhil terhadap orang lain.
Asumsi
Freud yang terkesan direka-reka itu, yang tidak ditopang dengan data, pada
prinsipnya menuding orang yang menyayangi dirinya sendiri sebagai orang yang
tak akan menyayangi orang lain secara memadai. Namun, penalitian yang dilakukan
ahli yang sezaman dengannya, Adler (1927) dan para ahli yang hidup pada zaman
sesudahnya seperti Berger (1952) dan Jourard (1971), justru menunjukan hal
sebaliknya.
Lebih
dari itu, Burns (1991) menyimpulkan bahwa hanya orang yang berperasaan cukup
positif terhadap dirinya (mencintai dan menghargai diri) saja yan gmampu
mengurangi kebutuhan dirinya (seperti kebutuhan atas pengakuan dan kekuasaan)
untuk memenuhi layanan kepada orang lain sesuai dengan kebutuhannya. Alhasil
antara sikap dan penerimaan terhadap orang lain terdapat hubungan yang positif
dan berarti.
3. Kompetensi psikomotor
guru
Kompetensi
psikomotor guru meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat
jasmaniah, yang pelaksanaannya berhubungna dengan tugasnya selaku pengajar.
Guru yang profesional memerlukan penguasaan yang prima atas sejumlah
keterampilan ranah karsa yang langsung berkaitan dengan bidang studi
garapannya.
Secara
garis besar kompetensi ranah karsa guru terdiri atas dua kategori yaitu : 1)
kecakapan fisik umum; 2) kecakapan fisik khusus. Kualitas kecakapan jasmaniah
yang bersifat umum dan khusus itu sebagian besar tidak seluruhnya tergantung
pada kualitas skemata yang terdiri atas skema-skema yang berisi
pengetahuan-pengetahuan spesifik yang kompleks. Skemata (jamak dari skema ) ini
tersimpan dalam subsistem memori permanen guru tersebut (Anderson,1990).
Skemata dapat dianalogikan sebagai himpunan file data yang terekam dalam
direktori komputer. Sednagkan skema sendiri merupakan file yang berisi data dan
informasi khusus yang kompleks, yakni linguistik skema, kultural skema dan
seterusnya.
Apabila
suatu saat anda hendak mengajarkan bahasa Indonesia, umpamanya, maka skemata
anda akan menampilkan file khusus yang berkenaan dengan bahasa, yakni
linguistik skema. Lalu anda sendiri yang menentukan bagian yang akan diambil
untuk keperluan pengajaran. Misalnya bagian kecakapan menulis atau bagian
kecakapan membaca, atau bagian kecakapan menganalisis struktur kalimat.
Selanjutnya
kecakapan fifik yang umum, direfleksikan ( diwujudkan dalam gerak ) dalam
bentuk gerakan dan tindakan umum jasmani guru seperti duduk, berdiri, berjalan
dan sebagainya yang tidak langsung berhubungan dengan aktivitas belajar.
Kompetensi ranah karsa ragam ini selayaknya direfleksikan oleh guru sesuai
dengan kebutuhan dan tatakrama yang berlaku.
Adapun
kecakapan ranah karsa guru yang khusus meliputi keterampilan-keterampilan
ekspresi verbal (pernyataan lisan) dan non verbal (pernyataan tindakan)
tertentu yang direfleksikan guru, terutama ketika mengelola proses belajar
mengajar. Dalam hal merefleksikan ekpresi verbal, guru sangat diharapkan
terampil dalam arti fasih dan lancar berbicara, baik ketika menyampaikan materi
pelajaran ataupun ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan
para siswa dan mengomentari sanggahan dan pendapat mereka.
Namun
demikian, guru yang cakap dalam ekspresi verbal, tidak berarti harus selalu
bisa menjawab pertanyaan siswa atau berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam
dirinya. Atau dengan kata lain berdiplomasi. Menjawab pertanyaan yang
sebenarnya tidak diketahui olehnya dengan cara “menipu” atau mengajukan argumen
yang dicari-cari sangatlah tidak bijaksana. Bersikap dan berperilaku jujur
terhadap siswa meskipun membuat siswa tahu akan kekurangan guru tersebut, jauh
lebih bijaksana dari pada berpura-pura dan menipu. Guru yang profesional harus
memberi tahu secara jujur kepada siswanya bahwa ia lupa atau belum tahu sambil
berjanji akan memberikan jawaban atas pertanyaan tadipada kesempatan lain.
Cara
jujur seperti itu menunjukan fleksibilitas dan keterbukaan yang ideal bagi
setiap guru. Ketidak tahuan guru yang profesional bagi siswa dalam dunia
pendidikan modern saaat ini dianggap wajar dan manusiawi. Cepat atau lambat
para siswa akan menyadari nobody knows everything, tak seorangpun yang tahu
segala sesuatu.
Adapun
mengenai keterampilan ekspresi nonverbal yang harus dikuasai guru ialah dalam
hal mendemonstrasikan hal-hal yang terkandung dalam materi pelajaran.
Kecakapan-kecqkapan tersebut meliputi: menulis dan membuat bagan di papan
tulis; memeragakan proses terjadinya sesuatu; memeragakan penggunaan
alat/sesuatu yang sedang dipelajari; dan memeragakan prosedur melakukan
keterampilan praktis tertentu sesuai dangan penjelasan verbal yang talah
dilakukan guru.
Perlu
diperhatikan bahwa dalam melakukan ekspresi nonverbal, guru hendaknya
mempertahankan akurasi (kecermatan) dan konsistensi (keajegan) hubungan antara
ekspresinonverbal tersebut dengan ekspresi verbal. Jadi, guru harus menyatukan
ucapan dengan perbuatan. Hal ini penting, sebab jika akurasi dan konsistensi
gagal diperlihatkan guru kepada para siswa, maka kepercayaan mereka kepada
kepiawaian guru dan arti penting meteri pelajaran mungkin akan merosot. Dampak
negatif selanjutnya, mungkin minat dan gairah para siswa dalam mempelajari
materi tadi akan merosot pula.
Sehubungan
dengan kesejajaran posisi antar-ragam kompetensi tersebut perlu dijelaskan
bahwa sebagian elemen kompetensi itu saling memengaruhi satu sama lain. Di
samping itu, ada pula beberapa elemen kompetensi yang lebih banyak dipengaruhi
oleh elemen kompetensi lainnya. Contoh: kompetensi ranah cipta (kognitif) dapat
memengaruhi efikasi diri dan harga-diri, tetapi efikasi-diri dan harga –diri
tidak memengaruhi kualitas ranah cipta.
Sementara
itu, hubungan antara kemampuan mentrasfer strategi kognitif dengan kecakapan
ekspresi verbal dan nonverbal sering bersifat resiprokal atau bersifat
timbal-balik.
Hubungan
guru dengan proses pembelajaran
Berikut
ini akan dibahas beberapa hal pokok mengenai hubungan antara guru dengan proses
PMB.
Hal-hal pokok tersebut meliputi: 1) konsep dasar PMB; 2)fungsi guru dalam PMB; 3) posisi guru dalam PMB
Konsep dasar proses PMB
A. definisi dan
komunikasi dalam proses belajar-mengajar
Pada umumnya para ahli sependapat
bahwa yang disebut proses belajar-mengajar adalah sebuah kegiatan yang integral
(utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar degan guru
sebagai pengajar yang sedang mengajar. Dalam kesatuan kegiatan ini terjadi
interaksi resiprokal yakni hubungan antara guru dengan para siswa dalam situasi
instruksional, yaitu suasana yang bersifat pengajaran.
Para
siswa dalam situasi instruksional itu menjalani tahapan kegiatan belajar melalui
interaksi dengan tahapan mengajar yang dilakukan guru. Namun , dalam proses
belajar-mengajar masa kini disamping guru menggunakan interaksi resiprokal, ia
juga dianjurkan memanfaatkan konsep komunikasi banyak arah untuk menciptakan
suasana yang lebih kreatif dinamis dan dialogis (Pasal 40 ayat 2a UU Sisdiknas
2003).
Disamping
para siswa melakukan proses belajar dalam suasana komunikasi dua arah,
seyogianya mereka juga dapat melakukannya dalam suasana komunikasi multiarah.
Hubungan tidak hanya terjadi antara siswa dengan guru dan sebaliknya, melainkan
juga antara siswa dengan siswa-siswa yang lainnya.
Selanjutnya,
kegitan PMB
selayaknya dipandang sebagai sebuah kegiatan sistem yang memproses input, yakni
para siswa yang diharapkan terdorong secara intrinsik untuk melakukan belajar
aneka ragam materi pelajaran yang disajikan di kelas. Hasil yang diharapkan
dari PMB
tersebut adalah output berupa para siswa yang telah mengalami perubahan positif
baik dimensi ranah cipta, rasa, maupun karsanya, sehingga cita-cita mencetak
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas pun tercapai.
B. Sasaran Kegiatan
Proses Mengajar-Belajar
Setiap
kegiatan mengajar-belajar, apapun materinya selalu memiliki sasaran (target).
Sasaran, yang juga lazim disebut tujuan itu pada umumnya tertulis, walaupun ada
juga sasaran tidak tertulis yang dikenal dengan objective in mind.sasaran yang
dituju oleh KBM bersifat bertahap dan meliputi beberapa jenjang dari jenjang
yang konkret dan langsung dapat dilihat dan dirasakan sampai yang bersifat nasional
dan universal. Ditinjau dari sudut waktu pencapaiannya, sasaran KBM dapat
dikategorikan dalam tiga macam, yakni:
1.
Sasaran jangka pendek, seperti TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus).
2.
Sasaran-sasaran jangka menengah, seperti tujuan pendidikan dasar, yakni untuk
mempersiapkan siswa mengikuti pendidikan menengah.
3.
Sasaran-sasaran jangka panjang, seperti tujuan pendidikan nasional.
Pada
prinsipnya, setiap guru hanya wajib bertanggung jawab atas terselenggaranya
proses mengajar-belajar vak atau bidang studi pegangannya. Namun di samping
itu, ia pun dihrapkan ikut memikul tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan
yang lebih jauh seperti tujuan institusional (satuan pendidikan tempatnya
bertugas), dan tujuan nasional. Menyadari adanya keterkaitan antara pelaksanaan
KBM bidang studi seorang guru dangan pelaksanaan KBM bidang studi lainnya, juga
keterkaitan antara seluruh kegiatan KBM dangan tujuan yang bersifat
konstitusional, maka setiap guruharus ikut memikul tanggung jawab mencapai
tujuan bersama yang berskala nasional bahkan universal.
Alhasil,
tanggung jawab para guru tidak terbatas pada pencapaian kecakapan-kacakapan
tertentu yang dikuasai para siswa, tetapai lebih jauh lagi yakni mencapai
tujuan-tujuan ideal. Tujuan-tujuan ideal itu meliputi:
1)
Tujuan pengembangan pribadi para siswa sebagai individu mandiri;
2)
Tujuan pengembangan pribadi para siswa sebagai warga dunia dan Makhluk Tuhan
Yang Mahaesa.
Untuk
memperjelas uraian keterkaitan antarpelbagai tujuan tadi, berikut ini disajikan
sebuah model.
Dalam
konteks pembahasan psikologi, tujuna khas yang menjadi tanggung jawab guru
sekolah, adalah tujuan instruksional dan tujuan kurikuler. Namun, untuk
melengkapi uraian pada bagian ini, penyusun kutipan isi Bab II pasal 2 UU
Sistem Pendidikan Nasional /2003 tentang tujuan pendidikan nasional.
“.........bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Adapun
tujuan pendidikan international / universal terdapat dalam dokumen PBB dalam
hal ini UNESCO. Dlam dokumen yang khusus berisi tujuan pendidikan disebutkan
bahwa sasaran minimal usaha pendidikan adalah terciptanya warga dunia yang
memiliki kemampuan membaca dan menulis (literacy).
C.
Strategi perencanaan proses mengajar-belajar
Strategi
menurut pengertian bahasa inggris adalah siasat, kiat atau rencana. Dalam
pembahasan mengenai PMN, strategi adalah prosedur atau langkah-langkah
pelaksanaan mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sama halnya dengan strategi
mengajar, strategi PMB juga memerlukan alokasi upaya kogniti (pertimbangan
akal) secara cermat.
Pada
umumnya, para ahli pendidikan seperti Newman & Legan (1971) mengemukakan
empat langkah besar sebagai prosedur penyusunan rencana pengelolaan PMB.
Langkah-langkah ini pada asasnya hanya merupakan “pendahuluaan” PMB yang akan
diselenggarakan.
Pertama,
merumuskan dan menetapkan spesifikasi output yang menjadi target yang hendak
dicapai dengan memerhatikan aspirasi dan selera serta kebutuhan masyarakat yang
memerlukan output tersebut.
Kedua,
mempertimbangkan dan memilih cara atau pendekatan dasar proses mengajar-belajar
yang dipandang paling efektif untuk mencapai target tadi.
Ketiga,
mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah tepat yang akan ditempuh sejak
titik awal hingga titik akhir yakni tercapainya hasil PMB.
Keempat,
mempertimbangkan dan menetapkan kriteria dan standar yang akan dipergunakan
untuk mengevaluasi taraf keberhasilan PMB.
Dari
uraian di atas tergambar bahwa PMB bukanlah proses yang dpaat dilakukan dengan
serampangan. Proses mengajar-belajar merupakan proses komunikasi edukatif yang
menghendaki perencanaan cermat dan matang khususnya dalam hal prosedur
pelaksanaannya dan kriteria minimum keberhasilannya.
Selanjutnya
untuk menjamin pelaksanaan prosedur perancanaan tadi, guru perlu menyusun
langkah-langkah konkret dan operasional untuk segera diimplementasikan dalam
PMB. Langkah-langkah konkret ini meliputi:
Pertama,
guru hendaknya merumuskan dan menetapkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus yang sesuai dengan pokok materi bidang studi yang akan
diajarkan. Caranya, dengan menentukan spesifikasi dan kualifikasi kompetensi
tertentu yang harus dikuasai para siswa setelah mengkuti PMB.
Kedua,
guru hendaknya memilih dan menetapkan sistem pendekatan mengajar-belajar yang
dipandang cocok dengan pokok bahasan yang akan disajikan sebagai pegangan dalam
merencanakan dan mengorganisasikan PMB dan pengalaman belajarpara siswa yang
dibutuhkan yakni bertanya jawab, berdiskusi dan sebagainya. Dalam hal ini guru
dapat memilih satu sistem pembelajaran sebagaimana yang akan diuraikan dalam
pembahasan “Strategi Pelaksanaan Proses Mengajar-Belajar”
Ketiga,
menetapkan kriteria berupa norma atau batas tertentu sebagai tolok ukur
keberhasilan minimum yang dicapai para siswa misalnya penentuan scor passing
grade. Penentuan kriteria dan pasing grade ini selanjutnya diberlakukan untuk
pedoman evaluasi prestasi dan umpan balik bagi penyempuranaan penggunaan sistem
istruksional pada sesi-sesi PMB selanjutnya.
D. strategi pelaksanaan
proses mengajar-belajar
Dlam
melaksanakan rencana kegiatan PMB, guru seyogianya pandai-panda menentukan
pendekatan sistem pembelajaran yang benar-benar pas dengan sifat poko bahasan,
kemampuan para siswa, dan tujuan instruksional yang hendak dicapai. Kini,
penelitian dan pembahasan segala aspek yang berkaitan dengan sistem
instruksional semakin mendapatkan perhatian para ahli psikologi pendidikan.
Hasilnya, tidak sedikit penemuan strategi-strategi baru pengajaran dan
modivikasi sistem instruksional yang lebih baru sesuai kebutuhan pendidikan
modern.
Sistem
enquiry-discovery
Nama
asli sistem ini adalah inquiring discovering learning yang kurang lebih berarti
belajar oenyelidikan dan penemuan. Sebagai sebuah sistem PMB, sistem itu kini
menduduki peringkat tinggi dalam dunia pendidikan modern. Pemakaiannya pun
semakin meluas terutama setelah dilakukan modifikasi dan penyesuaian yang
dibutuhkan oleh prinsip belajar yang disebut metalearning atau belajar sendiri
dan kreatif sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya sendiri.
Adapun
tahapan dan prosedur pelaksanaan sistem ini, yaitu meliputi:
1.
Stimulation,yaitu dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan suatu masalah.
2.
Problem statement, yakni dengan meme=berikan kesempatan pada siswa untuk
mengidentifkasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
, salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3.
Data collection, dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk
membuktikan hipotesis.
4.
Data processing, pengolahan data melalui wawancara, observasi, dsb, lalu
ditafsirkan.
5.
Verification, dengan pemerikasaan secara cermat antara hipotesis dan data
processing.
6. Generalization, dengan menarik kesimpulan.
Akan tetapi, system ini mengandung kelemahan yakni:
1.
relative memakan waktu yang lama
2.
membuat materi menjadi kabur dan kacau, terutama jika PMB kurang terpimpin.
System expository
System ini merupakan kebalikan dari system enquiry
discovery yang digunakan guru untuk meyampaikan materi secara menyeluruh dan
utuh, lengkap, serta sistematis, dengan penyampaian secara verbal. Metode ini
tak ubahnya seperti metode ceramah, yang di modifikasi sedemikian rupa,
sehingga para siswa tidak hanya tinggal diam secara pasif seperti metode
ceramah tradisional.
Adapun prosedur penyajian materi dengan system ini
adalah sebgai berikut:
1. persiapan, guru menyiapkan
materi secara lengkap dan sistematis.
2. apersepsi, guru bertanya atau
menyampaikan materi untuk mengarahkan perhatian siswa terhadap materi yang akan
disajikan.
3. penyajian, penyampaian materi
oleh guru secara verbal, diktat ataupun ditulis di papan tulis.
4. penyebutan kembali, guru
menyuruh siswa untuk menyatakan kembali mengenai materi yang telah disampaikan
dengan manggunakan kata-kata sendiri.
System
humanistic education
Pendekatan
system ini lebih menekankan pengembangan martabat manusia yang bebas membuat
pilihan dan berkeyakinan. Disamping itu, system ini juga menitik beratkan pada
upaya membantu siswa agar dapat mencapai perwujudan dirinya sesuai dengan
kemampuan dasar dan kekhususan yang ada pada dirinya.
Ciri
yang khas dan paling mencolok ialah guru tidak dikehendaki menciptakan jarak
yang tajam dengan murid. Dlam hal ini guru dianggap sebagai “siswa senior” yang
siap menjadi narasumber, konsultan, dan juga pembicara. Sasaran akhir dalam
system ini adalah tercapainya derajat manusia yang mampu mewujudkan dirinya di
tengah kehidpuan masyarakat sesuai degan potensi yang ada dalam dirinya.
Fungsi guru dalam proses mengajar-belajar
Pada
asasnya, fungsi guru dalam PMB adalah sebagai direktur belajar. Artinya, setiap
guru diharapkan pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar emncapai
keberhasilan belajar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sasaran kegiatan
PMB. Sebagai konsekuensi, tugas dan tanggung jawab guru pun menjadi lebih
kompleks dan berat pula.
Perluasan
tugas dan tanggug jawab guru tersebut menimbulkan fungsi khusus yang menjadi
bagian integral dalam kompetensi profesionalisme keguruan yang disandang oleh
para guru. Menurut Cagne, setiap guru berfungsi sebagai:
1.
designer of instruction
2.
manager of instruction
3.
evaluator of student learning
A. Guru sebagai
designer of instruction
Fungsi
ini menghendaki guru untuk senantiasa mampu dan siap merancang kegiatan
mengajar-belajar yang berhasil guna dan berdaya guna. Untuk mewujudkan fungsi
tersebut, maka setiap guru memerlukan pegetahuan yang memadai mengenai
prinsip-prinsip belajar sebgai dasar dalam menyusun rancangan kegiatan
megajar-belajar. Rancangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1.
memilih dan menentukan materi pengajaran.
2.
merumuskan tujuan penyajian materi.
3.
memilih metode penyajian materi yang tepat.
4.
mengadakan kegiatan evaluasi belajar.
B. Guru sebagai
manager of instruction
Fungsi
ini menghendaki kemampuan guru dalam mengelola seluruh tahapan proses
mengajar-belajar. Yakni dengan menciptakan situasi dan kondisi yang
sebaik-baiknya, sehingga memungkinkan para siswa belajar secara berdayaguna dan
berhasilguna. Selain itu, diciptakan pula situasi komunikasi multiarah antara
guru dengan guru yang demokratis, agar dapat memerankan peran masing-masing
secara integral dalam konteks komunkasi instruksional yang kodusif dan
membuahkan hasil.
C. Guru sebagai
evaluator of students learning
Fungsi
ini menghendaki guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan taraf kemajuan
prestasi belajar atau kinerja akademik siswa dalam setiap kurun waktu
pembelajaran.
Pada
asasnya, kegiatan evaluasi memerlukan kesinambungan, yang idealnya berlangsung
sepanjang waktu dalam fase kegiatan belajar. Artinya, apabila hasil evaluasi
tertentu menunjukkan kekurangan, maka siswa yang bersangkutan diharapkan dapat
termotivasi untuk mengadakan perbaikan belajar. Sebaliknya, apabila evaluasi
tertentu menunjukkan hasil memuaskan, maka siswa yang bersangkutan diharapkan
termotivasi untuk meningkatkan volume belajaranya agar materi yang lebih
kompleks dapat pula dikuasai.
Selanjutnya,
hasil evaluasi tersebut diharapkan dapat dijadikan feedback untuk guru tersebut
untuk melakukan penindaklanjutan proses pembelajaran. Hasil evaluasi juga
seyogianya dijadikan pangkal tolak dan bahan pertimbangan dalam memperbaiki
atau emningkatkan penyelenggaraan PMB pada masa yang akan datang. Dengan
demikian, kegiatan pembelajaran tidak akan statis, tetapi terus meningkat
hingga mencapai puncak kinerja akademik yang memuaskan.
Posisi dan ragam guru dalam PMB
Dalam
PMB setiap mata pelajaran, posisi para guru sangat penting dan strategis,
meskipun gaya dan penampilan mereka bermacam-macam. Diantara mereka ada yang
terlalu keras, dan ada pula yang terlalu lemah, bahkan “ogah-ogahan”.
A. Posisi guru
dalam PMB
Menurut
Claife (1976), guru adalah : … an authority in the discipline relevant to
education, yakni pemegang hak otoritas atas cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan pendidikan. Dalam proses pembelajaran, guru memiliki posisi
sebagai pengajar yang menyampaikan materi kepada murisnya. Selanjutnya, sebagai
hasil, siswa menerima pelajaran dan belajar dengan dirinyay sendiri atas apa
yang telah disampaikan oleh guru. Selain itu, sebagai hasil akhir, pembelajaran
tersebut diharapkan dapat menimbulkan perubahan positif dalam tingkah laku,
kognitif, afektif maupun psikomotorik siswa.
B. Ragam guru
dalam PMB
Barlow
(1985) mengemukakan ragam guru yakni sebagai berikut:
Pertama,
guru otoriter. Secara harfiah, otoriter berarti sewenang-wenang. Dalam PMB,
guru otoriter selalu mengarhkan aktivitas siswanya tanpa dapat di tawar-tawar.
Ia hanya memberikan seidikit kesempatan pada siswa untuk berperan serta dalam
memutuskan metode pengajaran yang baik untuk mereka. Guru otoriter, diakui
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan rencana, namun dpat
menimbulkan kemarahan siswanya karena menghambat kreativitas siswanya.
Kedua,
guru laissez-faire, yang lebih dikenal dengan individualism. Guru seperti ini
selalu mengubah cara atau metode belajar, shingga dapat menyulitkan siswanya
dalam beradaptasi dan persiapan. Sesungguhnya, ia tidak beitu menyukai
profesinya sebagai guru, dan sifat “semau gue” nya, sering menimbulkan berbagai
konflik.
Ketiga,
guru demokratis. Guru ini merupakan guru yang paling baik dan ideal, karena ia
memperhatikan persamaan hak dan kewajiban setiap orang. Hal ini menyebabkan
guru seperti ini akan bekerja sama dengan rekan seprofesinya, anmaun tetap
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ditinjau dari sudut hasil pembelajarannya,
guru demoktratis tidak jauh berbeda dengan otoriter, namun secara moral, guru
demokratis lebih baik.
Keempat,
guru otoritatif. Yakni guru yang berwibawa, yang memiliki dasar-dasar
pengetahuan yang memadai, baik pengetahuan bidang materinya maupun pengetahuan
umumnya. Biasanya dia memberikan perintah yang secara efektif dapat
dilaksanakan oleh siswanya, dengan mengajaknya bekerja sama. Dalam hal ini, ia
hamper sama dengan guru demokratis. Namun, dalam hal emberikan perintah, ia
akan lebih efektif, karena lebih disegani oleh siswa, dan dipandang sebagai
pemegang otoritas ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syah
Muhibbin. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Comments
Post a Comment