PENGARUH FENOMENA DIKOTOMI DAN DUALISME KURIKULUM TERHADAP PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL DI SEKOLAH DASAR
PENGARUH
FENOMENA DIKOTOMI DAN DUALISME KURIKULUM TERHADAP PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL DI
SEKOLAH DASAR
A. Dikotomi dan dualisme
Masalah dualisme pendidikan merupakan salah satu hal yang telah lama
menjadi perdebatan para pemikir dan pemerhati pendidikan di seluruh dunia. Isu
dualisme ini pernah hangat didiskusikan pada masa dan setelah konferensi
se-dunia pertama tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Makkah pada tahun
1977. Bahkan persoalan dualisme dalam sistem pendidikan di beberapa belahan
negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim saat ini masih sangat
dirasakan. Persoalan itu muncul dari adanya pemilahan antara ilmu-ilmu umum di
satu sisi dan ilmu agama di sisi lain.
Menurut Tajul Ariffin Nordin (1993), adanya dualisme dalam pendidikan pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan.
Ini disebabkan wujudnya dualisme yang melihat agama dan ilmu sebagai dua hal
yang tidak dapat dipertemukan sehingga kondisi dan lingkungan pendidikan yang
ada hari ini sukar untuk menghasilkan manusia yang seimbang dan terintegrasi
baik dari segi intelektual, jasmani dan kerohanian. Hasil dari keadaan tersebut
telah memunculkan kurikulum pendidikan yang memperlihatkan pemisahan antara
pengajaran agama dan (kerohanian) dengan disiplin-disiplin akal yang lain.
Keduanya mempunyai wilayah-wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan
lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, peranan yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing
bahkan sampai kepada institusi pelaksanaannya.
Dalam lingkup dunia Islam, banyak usaha-usaha yang telah dilakukan paling
tidak untuk mengurangi implikasi adanya dualisme ini, sebelum dapat
menghapuskannya secara keseluruhan, baik dalam bentuk gagasan dan pola
interaksi antara pemerintah dan pelopor pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Usaha lainnya juga melingkupi upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan integrasi
ilmu. Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk beragama
Islam, juga memperlihatkan adanya fenomena dualisme dalam sistem pendidikan
nasionalnya. Hal ini dapat dicermati melalui, salah satunya, dalam institusi
pendidikan di Indonesia yang mengalami dikotomi antara pendidikan umum dan
pendidikan agama.
Oleh karena itu, segala usaha islamisasi ilmu pengetahuan dan integrasi
ilmu untuk meminimalisir dampak atau implikasi dualisme pendidikan, cukup
relevan dengan konteks Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia. Namun aspek sejarah dualisme pendidikan di Indonesia menjadi
salah satu faktor determinan untuk memberi pemahaman akan adanya kesenjangan
besar antara dampak pemikiran dualisme dengan pemikiran Islam dalam sistem
pendidikan di Indonesia dewasa ini. Dengan menyadari kontradiksi tersebut, maka
keberadaan dualisme dalam pendidikan di Indonesia perlu ditelusuri melalui
perspektif historis pemikiran dualisme sehingga bisa muncul seperti sekarang
ini. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menyelidiki akar historis
terjadinya dualisme tersebut dan akan melihat bagaimana keterkaitannya dengan
konteks pendidikan di Indonesia.
Perkataan “dualisme” adalah gabungan dua perkataan dalam bahasa latin yaitu
“dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi arti kata dua.
Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata kerja. Oleh
karena itu, dualisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah satu sistem
atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua
substansi. Rosnani Hashim (1996) menyatakan bahwa dualisme adalah dua faham
yang memiliki asas dan landasan yang berbeda baik secara historis, filosofis
maupun ideologi. Dalam Ensiklopedi Columbia (1963) dualisme adalah suatu konsep
yang berhubungan dengan kewujudan dua elemen yang berbeda pada suatu benda atau
perkara. Asal ide ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika
yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan
raga manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Syed Naquib al-Attas (1978) bahwa
asal usul konsep dualisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam (world
view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat.
Gagasan tentang dualisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan
Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang
terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat
bahwa "kecerdasan" seseorang merupakan bagian dari pikiran atau jiwa
yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Jadi dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental adalah entitas
non-fisik dan raga adalah fisik. Oleh itu, faham dualisme ini melihat fakta
secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis
terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain.
B. Konsep dasar
kurikulum
Pada awalnya istilah
kurikulum digunakan dalam dunia olah raga pada jamanYunani Kuno. Curriculum
dalam bahasa Yunani berasal dari kata “ Curir “ artinya pelari dan “ Curere
“ artinya ditempuh atau berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Mengambil makna yang terkandung dari rumusan tersebut,
kurikulum dalam pendidikan diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
atau diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah. Kurikulum sebagai program
pendidikan harus mencakup : (1). Sejumlah mata pelajaran atau organisasi
pengetahuan; (2) pengalaman belajar atau kegiatan belajar; (3) program belajar
( plan for learning ) untuk siswa ; (4) hasil belajar yang diharapkan. Dari
rumusan tersebut , kurikulum diartikan “ program dan pengalaman belajar serta
hasil-hasil belajar yang diharapkan, yang diformulasikan melalui pengetahuan
dan kegiatan yang tersusun secara sistematis, diberikan kepada siswa di bawah
tanggung jawab sekolah untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan
kompetensi sosial siswa.( Nana Sudjana).
Beberapa Definisi Kurikulum :
1.
Hilda Taba, mengartikan kurikulum
sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari
oleh anak-anak
2.
J. Galen Saylor dan William M.
Alexander, menjelaskan The curriculum is the sum total of schools effort to
influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of
school. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak itu belajar, apakah
dalam ruangan kelas, dihalaman sekolah atau di luar sekolah.
3.
Harold B. Alberty cs. Memandang
kurikulum sebagai all of the activities that the provided for the students by
the school. Dengan kurikulum dimaksud segala kegiatan yang disajikan oleh
sekolah bagi para pelajar dan tidak diadakan pembatasan antara kegiatan di
dalam dan di luar kelas.
4.
B. Othanel Smith cs. Mengartikan
kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan
kepada anak, yang diperlukan agar mereka dapat berpikir dan berkelakuan sesuai
dengan masyarakatnya
5.
J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller,
kurikulum lebih luas dari pada hanya bahan pelajaran, dalam kurikulum termasuk
metode belajar dan mengajar, cara mengevaluasi kemajuan murid dan seluruh
program, perubahan dalam tenaga pengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi
dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah, ruangan
serta kemungkinan adanya pilihan mata
pelajaran.
6.
Alice Miel, kurikulum meliputi segala
pengalaman dan pengaruh yang bercorak pendidikan yang diperoleh anak di
sekolah.
7.
Depdikbud, kurikulum dipandang sebagai
suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai
sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Dari definisi ini mencerminkan
adanya : 1. Pendidikan itu adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan; 2.
Di dalam kegiatan pendidikan itu terdapat suatu rencana yang disusun/ diatur;
3. Rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara yang telah ditetapkan.
8.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. ( UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
).
Peranan Kurikulum
Kurikulum sebagai
program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peranan
sebagai berikut :
1.
Peranan Konservatif ,
salah satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan
warisan sosial kepada generasi muda. Dengan demikian , sekolah sebagai suatu
lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku para siswa dengan
nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan
sebagai suatu proses sosial. Karena pendidikan itu sendiri pada hakekatnya
berfungsi pula menjembatani antara siswa dengan orang dewasa di dalam proses
pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks, dan disinilah
peranan kurikulum turut membantu proses tersebut.
2.
Peranan Kritis / Evaluatif,kebudayaan
senantiasa berubah dan sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada,
melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan.
Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan
menekankan pada unsur berpikir kritis. Niali –nilai sosial yang tidak sesuai
lagi dengan keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi dan
perbaikan, sehingga kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas dasar
kriteria tertentu.
3.
Peran Kreatif,
kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti
mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang
dan masa yang akan datang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan
semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran,
pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan keterampilan yang baru yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat.
Fungsi Kurikulum
Secara umum fungsi
kurikulum adalah sebagai alat untuk membantu peserta didik untuk mengembangkan
pribadinya ke arah tujuan pendidikan. Kurikulum itu segala aspek yang
mempengaruhi peserta didik di sekolah, termasuk guru dan sarana serta prasarana
lainnya. Kurikulum sebagai program belajar bagi siswa, disusun secara sistematis
dan logis , diberikan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai program
belajar, kurikulum adalah niat, rencana dan harapan. Menurut Alexander Inglis,
fungsi kurikulum meliputi :
1.
Fungsi Penyesuaian,
karena individu hidup dalam lingkungan , sedangkan lingkungan tersebut
senantiasa berubah dan dinamis, maka setiap individu harus mampu menyesuaikan
diri secara dinamis. Dan di balik lingkungan pun harus disesuaikan dengan
kondisi perorangan, disinilah letak fungsi kurikulum sebagai alat pendidikan
menuju individu yang well adjusted.
2.
Fungsi Integrasi,
kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena
individu itu sendiri merupakan bagian integral dari masyarakat, maka pribadi
yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau
pengintegrasian masyarakat.
3.
Fungsi Deferensiasi,
kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaanperbedaan perorangan
dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berpikir
kritis dankreatif, dan ini akan mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat.
4.
Fungsi Persiapan,
kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih
lanjut untuk jangkauan yang lebih jauh atau terjun ke masyarakat. Mempersiapkan
kemampuan sangat perlu, karena sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang
diperlukan atau semua apa yang menarik minat mereka.
5.
Fungsi Pemilihan,
antara keperbedaan dan pemilihan mempunyai hubungan yang erat.Pengakuan atas
perbedaan berarti pula diberikan kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa
yang dinginkan dan menarik minatnya. Ini merupakan kebutuhan yang sangat ideal
bagi masyarakat yang demokratis, sehingga kurikulum perlu diprogram secara
fleksibel.
6.
Fungsi Diagnostik,
salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan para siswa
agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan
semua potensi yang dimiliki.Ini dapat dilakukan bila mereka menyadari semua
kelemahan dan kekuatan yang dimiliki melalui eksplorasi dan prognosa. Fungsi
kurikulum dalam mendiagnosa dan membimbing siswa agar dapat mengembangkan
potensi siswa secara optimal.
Sedangkan fungsi praksis dari kurikulum
adalah meliputi :
1.
Fungsi bagi sekolah yang bersangkutan
yakni sebagai alat untuk mencapai tujuan – tujuan pendidikan yang diinginkan
dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan sehari-hari.
2.
Fungsi bagi sekolah yang diatasnya
adalah untuk menjamin adanya pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan.
3.
Fungsi bagi masyarakat dan pemakai lulusan
.
C. Penerapan
Kurikulum KTSP 2006
Sejak berlakunya
UU Nomor 22 Tahun 1999, kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun
2004,pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan. Kebijakan
desentralisasi pendidikan termasuk didalamnya kebijakan pengembangan kurikulum.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Karena
disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan maka KTSP merupakan kurikulum
babak baru perubahan dari kurikulum nasional yang disusun oleh pusat
dilaksanakan oleh sekolah ke kurikulum otonom yang disusun dan dilaksanakan
oleh satuan pendidikan. Kebijakan kurikulum berdiversifikasi merupakan amanat
PP 19 Tahun 2005.
Pengembangan
kurikulum berdiversifikasi merupakan tantangan besar bagi sekolah. Kebijakan
tersebut menuntut sekolah untuk mampu menjabarkan standar isi yang telah
ditetapkan oleh BSNP menjadi kurikulum yang sesuai dengan situasi kondisi
sekolah, visi, misi, dan tujuan sekolah dan pelaksanaannya mampu mengantarkan
peserta didik mencapai standar kompetensi lulusan. Satuan pendidikan harus
mulai dapat mengembangkan kurikulum implementatif pada sekolahnya. KTSP terdiri
dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas , Syed Muhammad Naquib. 1978. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ABIM
Hashim,
Rosnani. 1996. Educational dualism in Malaysia: Implication for Theory and
Practice. Oxford University Press
Marwan
Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco, 1996
Nordin,
Tajul Ariffin.1993. Pendidikan: Satu Pemikiran Semula. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Stress and
Burnout in Rural and Urban Secondary School Teachers. Journal of
Educational Research. 1999. 92, pg.487–580.
Comments
Post a Comment